Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

414 Mahasiswa Bandung yang Tertular HIV/AIDS Ternyata Terjadi pada Rentang Waktu Selama 30 Tahun

29 Agustus 2022   05:00 Diperbarui: 29 Agustus 2022   06:11 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (Sumber: womenshealthmag.com)

Berita tentang 414 mahasiswa ber-KTP Bandung terlanjur menggemparkan, padahal itu data yang tidak akurat karena jumlah itu kumulatif selama 30 tahun

Berita tentang 414 mahasiswa Ber-KTP Bandung yang tertular HIV/AIDS menggemparkan yang juga jadi 'santapan' beberapa media untuk menjadikan isu itu sebagai berita yang sensasional bahkan bombastis (KBBI: banyak berjanji, tetapi tidak akan berbuat banyak; banyak menggunakan kata dan ucapan yang indah-indah serta muluk-muluk, tetapi tidak ada artinya; bersifat omong kosong; bermulut besar).

Misalnya, beberapa berita bicara tentang ciri-ciri dan gejala HIV/AIDS, tapi tidak ada penjelasan kapan ciri-ciri dan gejala tersebut terkait langsung dengan infeks HIV/AIDS!

Soalnya, semua ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala yang disebut terkait dengan HIV/AIDS bisa terjadi, bahkan berulang kali, pada diri setiap orang yang sama sekali tidak tertular HIV/AIDS.

Maka, ketika menyampaikan informasi tentang ciri-ciri, tanda-tanda dan gejala-gejala yang disebut terkait dengan HIV/AIDS harus ada prakondisi yaitu pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Sedangkan perilaku nonseksual yang berisiko tertular HIV, yaitu:

(5). Menerima transfusi darah yang tidak diskrining HIV,

(6) Memakai jarum suntik dan tabungnya secara bersama-sama dengan berganti-ganti dan bergilir, terutama pada penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) karena bisa saja salah satu mengidap HIV/AIDS sehingga darah masuk ke jarum suntik dan ke tabung yang salnjutnya disuntikkan ke badan penyalahguna yang lain.

Empat perilaku seksual berisiko itu tidak bisa dijangkau karena ada di ranah privat. Padahal, untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan melalui penjangakauan untuk sosialisasi pemakaian kondom.

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Kembali ke inti persoalan, ternyata jumlah mahasiswa ber-KTP Bandung sebanyak 414 yang disebut tertula HIV/AIDS merupakan jumlah kumulatif dari tahun 1991-2021 alias 30 tahun. Hal ini dikatakan oleh Kepala Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Bandung, Sis Silvia Dewi (health.detik.com, 28/8-2022).

Artinya, setiap tahun hanya ada 13,8 mahasiswa yang tertular HIV/AIDS atau 1,15 mahasiswa per bulan. Informasi soal jumlah itu tidak akurat, tapi sudah menimbulan kepanikan dan kegemparan serta stigma (cap buruk) terhadap mahasiswa.

Lebih lanjut dikatakan walaupun 6,9% atau 414 kasus terjadi pada mahasiswa, ternyata temuan paling banyak justru pada pekerja swasta, yakni 30%, 15% pada wiraswasta dan 11% pada ibu rumah tangga (IRT). Celakanya, hanya mahasiswa yang dijadikan objek pemberitaan karena bisa dikatikan dengan perilaku (moral) yang dikembangkan sebagai berita yang sensasional dan bombastis.

Padahal, jika dilihat dari aspek moral tentulah suami-suami yang lebih tidak bermoral karena 664 ibu rumah tangga pada kurun waktu yang sama juga terdeteksi HIV-positif. Suami-suami sebagai 'laki-laki hidung belang' itu melakukan perilaku seksual berisiko dan membawa penyakit ke rumah. Bukan hanya istrinya yang menderita, tapi juga bayi yang kelak dihalirkan istrinya dengan HIV/AIDS jika selama kehamilan dan persalinan tidak ditangani oleh dokter.

Yang jadi pertanyaan besar untuk KPA Bandung, apakah suami dari 664 ibu rumah tangga itu mejalani tes HIV?

Kalau jawabannya tidak, maka bencana yang lebih besar akan melanda Kota Bandung karena suami-suami itu jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Bahkan, ada di antara suami-suami itu yang mempunyai istri lebih dari 1 sehingga jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS jauh lebih banyak lagi.

Maka, Pemkot Bandung perlu membuat regulasi untuk mendeteksi warga Kota Bandung yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Soalnya, jumlah kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Gambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Di bagian lain berita tersebut Silvia mengatakan: "Mahasiswa termasuk pekerjaan sebanyak 6,9 persen, jadi di bawah sebetulnya. Tapi yang menjadi perhatian adalah mahasiswa, karena termasuk usia produktif dan pemuda harapan bangsa, mungkin seperti itu .... "

Secara empiris mahasiswa ada di terminal terakhir ketika tertular HIV/AIDS karena mayoritas dari mereka tidak mempunyai istri. Sedangkan karyawan swasta bisa jadi sebagian besar mempunyai istri sehingga ada risiko horizontal penularan HIV/AIDS. Buktinya, ada 664 ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS.

Ibur rumah tangga itu berisiko menularkan HIV/AIDS ke bayi yang dikandungnya kelak, atau ke laki-laki lain jika dia bercerai atau suaminya meninggal. Tapi, kondisi ini tidak jadi 'makanan' media karena tidak seksi.

Kalau mhasiswa, seperti dikatakan Silvia, termasuk usia produktif dan pemuda harapan bangsa, maka ibu-ibu rumah tangga itu juga akan melahirkan anak untuk dibesarkan jadi harapan bangsa. Tapi, jika mereka lahir dengan HIV/AIDS bukan harapan bangsa tapi jadi beban bangsa karena sejak lahir mereka sudah membutuhkan perawatan dan pengobatan terkait dengan penyakit yang ditimbulkan infeksi HIV/AIDS.

Sedangkan soal usia produktif adalah hal yang realistis banyak yang tertular HIV/AIDS karena di rentang usia itu libido (hasrat seks) tinggi dan mereka punya uang membeli seks. Libido tidak bisa diganti dengan kegiatan selain hubungan seksual (penetrasi) atau swalayan (onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan).

Yang membuat mahasiswa itu celaka yaitu tertular HIV/AIDS karena mereka terperangkap atau termakan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Baca juga: Ratusan Mahasiswa Bandung yang Tertular HIV/AIDS karena Terperangkap Mitos

Sejak awal pandemi, 40 tahun yang lalu, sampai sekarang materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga menghilangkan fakta medis dan menyuburkan mitos.

Misalnya, yang ada dalam berita: " .... faktor risiko yang menyebabkan HIV .... 39 persen di antaranya akibat seks bebas .... "

"Hari gini" masih saja menyebut 'sekb bebas' jargon moral yang ngawur bin ngaco. Sampai sekarang tidak jelas akan yang dimaksud dengan 'seks bebas' itu. Tapi, naga-naganya adalah hubungan seksual dalam bentuk perzinaan dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran.

Maka, orang-orang yang tertular HIV/AIDS, seperti ratusan mahasiswa Bandung itu, terperangkap dan termakan (dipengaruhi) mitos 'seks bebas.' Mereka melakukan hubungan seksual bukan dengan PSK dan tidak pula di lokalisasi pelacuran.

Mereka melakukan hubungan seksual dengan perempuan atau cewek yang bukan PSK di kamar kos, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang sampai apartemen. Di pikiran mereka itu tidak berisiko karena mitos tadi.

Maka, yang tepat adalah hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, yang tidak aman yaitu dilakukan tanpa kondom dengan perempuan atau cewek yang tidak diketahui status HIV-nya. Ini fakta medis.

Selama pemerintah, aktivis dan tokoh-tokoh masih saja mengedepankan mitos dalam sosialisasi HIV/AIDS, mka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Orang-orang yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas HIV/AIDS pada firik dan keluhan kesehatan mereka.

Sampai Desember 2021 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 579.188 yang terdiri atas 445.641 HIV dan 133.547 AIDS. Yang pelu diingat angka-angka ini tidak menggambarkan jumlah nyata kasus HIV/AIDS di masyarakat karena bisa jauh lebih banyak berdasarkan fenomena gunung es.

Itu artinya Indonesia bisa jadi 'afrika kedua' tatkala terjadi 'ledakan AIDS.' *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun