Misalnya, mengait-ngaitkan 'seks bebas,' zina, selingkuh, melacur dan homoseksual sebagai penyebab HIV/AIDS. Ini ngawur karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau keduanya mengidao HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matriks).
Ketika ada waria yang terdeteksi HIV-positif persoalan bukan pada waria itu, tapi laki-laki heteroseksual, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada waria tersebut dan laki-laki heteroseksual lain yang melakukan seks anal atau seks oral dengan waria tadi karena berada pada posisi berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Dalam berita disebutkan pula: Anggota Komisi D DPRD Bangkalan Sonhaji meminta dinkes serius membendung penyebaran HIV/AIDS. Langkah yang harus dilakukan yaitu dengan mendeteksi dini orang-orang yang berpotensi terkena penyakit itu. Salah satunya pekerja seks komersial yang diciduk oleh satpol PP.
Pertanyaan untuk Sonhaji, bagaimana caranya Dinkes Bangkalan membendung penyebaran HIV/AIDS melalui perilaku seksual bersiko ini?
Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri.
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri.
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri.
Semua perilaku berisiko ini terjadi di ranah privat sehingga mustahil melakukan intervensi berupa penjangkauan. Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sejak ditutup ketika reformasi bergulir. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat.