"Sebaran human immunodeficiency virus (HIV) acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) di Bangkalan (Madura, Jawa Timur-pen.) tinggi. Buktinya, terdapat 114 orang terjangkiti penyakit mematikan itu. Ironisnya, lima penderita masih anak-anak atau di bawah 18 tahun." Ini lead pada berita "radarmadura.jawapos.com" (29/7-2022).
Ada beberapa hal yang patut dikritisi di lead berita ini, yaitu:
(a). Pernyataan 'terjangkiti penyakit mematikan itu' tidak akurat dan bisa dikategorikan sebagai misleading (menyesatkan) karena HIV adalah virus dan AIDS adalah masa. HIV/AIDS bukan penyakit sehingga tidak mematikan.
(b). Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS (secara statistik antara 5 -- 15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter). Pada masa AIDS sistem kekebalan tubuh Odha rendah sehingga mudah kena panyakit, seperti diare, TB dan lain-lain yang disebut infeksi oportunistik (IO). Infeksi inilah yang menyebabkan kematian pada Odha.
(c). Yang ironis bukan HIV/AIDS pada anak-anak, tapi perlaku seksual ayah mereka yang berisio tertular HIV/AIDS sehingga menularkan HIV/AIDS ke ibu mereka yang selanjutnya tertular kepada mereka ketika bayi sewaktu persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI) ibunya.
Kasus HIV/AIDS pada anak-anak menunjukan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terjadi karena tidak ada program yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil.
Sejatinya Dinkes Bangkalan meminta agar Pemkab dan DPRD Bangkalan menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mewajibkan suami dari ibu-ibu yang hamil menjalani tes HIV. Jika suami HIV-positif barulah istrinya menjalani tes HIV.
Jangan dibalik karena suami ibu-ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif menolak menjalani tes HIV sehingga mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Di bagian lain Kabid Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan (Dinkes) Bangkalan, Rizkiyah Nuni Wahyuni, mengatakan: Untuk menekan kasus HIV/AIDS lembaganya melakukan upaya sosialisasi serta pemeriksaan terhadap kelompok-kelompok yang rentan terkena HIV/AIDS. Misalnya, kelompok wanita pria (waria). Langkah itu sebagai upaya untuk menekan tingginya kasus HIV/AIDS.
Soal sosialisasi sudah dilakukan sejak 35 tahun yang lalu di awal epidemi HIV/AIDS terdeteksi di Indonesia, tapi hasilnya nol besar. Hal ini terjadi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tetang HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama sehingga fakta medis hilang. Yang ditangkap masyarakat dari KIE itu hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan 'seks bebas,' zina, selingkuh, melacur dan homoseksual sebagai penyebab HIV/AIDS. Ini ngawur karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu atau keduanya mengidao HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matriks).
Ketika ada waria yang terdeteksi HIV-positif persoalan bukan pada waria itu, tapi laki-laki heteroseksual, dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada waria tersebut dan laki-laki heteroseksual lain yang melakukan seks anal atau seks oral dengan waria tadi karena berada pada posisi berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Dalam berita disebutkan pula: Anggota Komisi D DPRD Bangkalan Sonhaji meminta dinkes serius membendung penyebaran HIV/AIDS. Langkah yang harus dilakukan yaitu dengan mendeteksi dini orang-orang yang berpotensi terkena penyakit itu. Salah satunya pekerja seks komersial yang diciduk oleh satpol PP.
Pertanyaan untuk Sonhaji, bagaimana caranya Dinkes Bangkalan membendung penyebaran HIV/AIDS melalui perilaku seksual bersiko ini?
Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri.
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri.
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi 'perempuan' ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi 'laki-laki' (menempong).
(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom di Bangkalan, di luar Bangkalan dan di luar negeri.
Semua perilaku berisiko ini terjadi di ranah privat sehingga mustahil melakukan intervensi berupa penjangkauan. Apalagi sekarang lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sejak ditutup ketika reformasi bergulir. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel, sedangkan eksekusinya dilakukan di sembarang waktu dan sembarang tempat.
Lagi pula kalaupun Satpol PP menemukan PSK yang mengidap HIV/AIDS, persoalan bukan pada PSK tapi warga Bangkalan, terutama laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Pertama, yang menularkan HIV/AIDS ke PSK. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki tersebut bisa sebagai seorang suami sehingga ada pula risiko penularan ke istrinya. Bahkan, ada laki-laki yang beristri lebih dari satu sehingga jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS kian banyak.
Kedua, seorang PSK yang ditangkap Satpol PP terdeteksi HIV-positif itu artinya PSK tersebut sudah tertular HIV minimal tiga bulan sebelumnya. Maka, dalam kurun waktu tiga bulan sudah ada 225 laki-laki (1 PSK x 3 bulan x 25 hari/bulan x 3 laki-laki/malam) yang berisiko tertular HIV/AIDS karena melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.
Bayangkan kalau PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di Bangkalan lebih dari satu. Itu artinya kian banyak laki-laki dewasa warga Bangkalan yang jadi pelanggan PSK berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Baca juga: Dibanding PSK, Ibu Rumah Tangga Lebih Banyak yang (Berisiko) Tertular HIV/AIDS
Maka, yang diperlukan di Bangkalan adalah menjangkau laki-laki pada empat perilaku berisiko di atas agar mereka selalu memakai kondom. Tapi, program ini insiden infeksi HIV baru di Bangkalan akan terus terjadi.
Laki-laki yang tertular HIV dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari karena warga yang tertular HIV/AIDS tidak mengalami tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS.
Penyebaran HIV/AIDS tersebut bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H