Akibatnya, tidak ada lagi penjangkauan kepada berbagai kelompok yang disebut populasi kunci karena tidak ada dana. Selama ini penjangkauan dilakukan oleh aktivis lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan dukungan dana grant atau hibah dari donor-donor luar negeri.
Maka, sekarang kegiatan terkait dengan HIV/AIDS tertutama untuk tes HIV pemerintah hanya bersifat pasif yaitu menunggu warga berobat. Jika ada penyakit terkait dengan HIV/AIDS baru dokter merujuk untuk tes HIV dengan konseling.
Jadi, tidak mengherankan kalau kasus yang dilaporkan sejak Indonesia jadi anggota G-20 terus turun. Ini bukan berarti kasus insiden infeksi HIV berkurang, tapi karena tidak ada penjangkauan.
Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi atau dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Maka, sangat diharapkan ada langkah konkret pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota, untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Tentu saja dengan cara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).
Berdasarkan faktor risiko kasus HIV-positif yang ditemukan pada periode Juli - September 2021 terdeteksi pada kalangan homoseksual 34,2%; heteroseksual 12,8%; dan penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik bergantian 0,5%.
Data terkait homoseksual dijadikan sebagian media sebagai berita yang sensasional yang akhirnya bersifat bombastis (omong kosong). Padahal, dari aspek epidemiologi hal itu justru menurunkan penyebaran HIV karena homoseksual, dalam hal ini laki-laki gay, tidak punya istri.
Sementara heteroseksual mempunyai istri, bahkan ada yang lebih dari satu. Jika istri mereka tertular HIVAIDS, maka ada risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang mereka kandung terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).