Laporan triwulan perkembangan kasus HIV/AIDS untuk tahun 2021 sangat terlambat. Untuk aporan perkembangan HIV/AIDS dan Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) triwulan III Juli -- September 2021 tahun 2021 dipublikasikan tanggal 7/2-2022.
Laporan triwulan yang dikeluarkan oleh SIHA Kemkes pada priode Juli -- September 2022 menunukkan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan dari 34 provinsi sebanyak 6.709 yang terdiri atas 6.117 HIV dan 592 AIDS.
Kasus HIV-positif terbanyak di atas 100 dilaporkan oleh 13 provinsi, yaitu:
(1) Jawa Barat (Jabar) yaitu 919
(2) DKI Jakarta 891
(3) Jawa Timur (Jatim) 839
(4) Jawa Tengah (Jateng) 778
(5) Sumatera Utara (Sumut) 368
(6) Bali 324
(7) Banten 234
(8) Sulawesi Selatan (Sulsel) 244
(9) Papua 159
(10) Kepulauan Riau (Kepri) 149
(11) Kalimantan Timur (Kaltim) 128
(12) Kalimantan Selatan (Kalsel) 117
(13) Sulawesi Utara (Sulut) 103 (Lihat Tabel).
Kasus HIV-positif sebanyak 6.117 merupakan hasil dari tes HIV terhadap 732.436 orang di semua provinsi. Itu artinya hasil positif sebesar 0,84%.
Namun, perlu diingat bahwa bisa jadi orang-orang yang tes HIV karena dirujuk oleh dokter ketika mereka berobat ke fasilitas kesehatan (Faskes) pemerintah. Seperti diketahui ada program Provider Initiative Test and Counseling (PITC) yaitu hasil diagnosis dokter terkait dengan penyakit pasien dokter punya inisiatif untuk merujuk tes HIV.
Setelah Indonesia masuk jadi anggota negara-negara kaya yang dikenal sebagai G-20, Indonesia tidak boleh lagi menerima hibah atau grant untuk berbagai kegiatan, salah satu di antaranya adalah hibah untuk HIV/AIDS. Sementara anggaran APBN dan APBD tidak ada pos khusus HIV/AIDS.
Akibatnya, tidak ada lagi penjangkauan kepada berbagai kelompok yang disebut populasi kunci karena tidak ada dana. Selama ini penjangkauan dilakukan oleh aktivis lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) dengan dukungan dana grant atau hibah dari donor-donor luar negeri.
Maka, sekarang kegiatan terkait dengan HIV/AIDS tertutama untuk tes HIV pemerintah hanya bersifat pasif yaitu menunggu warga berobat. Jika ada penyakit terkait dengan HIV/AIDS baru dokter merujuk untuk tes HIV dengan konseling.
Jadi, tidak mengherankan kalau kasus yang dilaporkan sejak Indonesia jadi anggota G-20 terus turun. Ini bukan berarti kasus insiden infeksi HIV berkurang, tapi karena tidak ada penjangkauan.
Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi atau dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Maka, sangat diharapkan ada langkah konkret pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah kabupaten dan kota, untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat. Tentu saja dengan cara-cara yang tidak melawan hukum dan tidak pula melanggar hak asasi manusia (HAM).
Berdasarkan faktor risiko kasus HIV-positif yang ditemukan pada periode Juli - September 2021 terdeteksi pada kalangan homoseksual 34,2%; heteroseksual 12,8%; dan penyalahguna Narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik bergantian 0,5%.
Data terkait homoseksual dijadikan sebagian media sebagai berita yang sensasional yang akhirnya bersifat bombastis (omong kosong). Padahal, dari aspek epidemiologi hal itu justru menurunkan penyebaran HIV karena homoseksual, dalam hal ini laki-laki gay, tidak punya istri.
Sementara heteroseksual mempunyai istri, bahkan ada yang lebih dari satu. Jika istri mereka tertular HIVAIDS, maka ada risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang mereka kandung terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Kasus HIV-positif pada ibu hamil sebesar 16,4%. Ini menunjukkan suami mereka antara lain sebagai pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Persentase kasus pada PSK dilaporkan 2,9%. Ini sangat masuk akal karena 1 PSK melayani 3-5 laki-laki setiap malam. Maka, persentase ibu hamil yang positif HIV pun lebih tinggi dari PSK.
Sedangkan pada waria dilaoporkan 1,5%. Ini juga terkait dengan ibu hamil karena pelanggan waria umumnya laki-laki beristri. Sebuah studi di Surabaya (1990-an) menunjukkan laki-laki beristri justru jadi perempuan (ditempong) ketika melakukan seks anal dengan waria. Dalam kondisi ini waria jadi laki-laki (menempong).
Berdasarkan jenis kelamin persentase HIV-positif yang ditemukan terbanyak pada laki-laki yaitu 73% dan perempuan sebesar 27%. Dengan persentase ini, maka rasio laki-laki dan perempuan adalah 2:1.
Sementara itu berdasarkan kelompok umur dilaporkan kasus HIV-positif yang ditemukan priode Juli-September 2022 terbanyak pada kelompok umur 25-49 tahun (69,4%), diikuti kelompok umur 20-24 tahun (18%), dan kelompok umur 50 tahun (7,2%).
Persentase kelompok umur itu realistis karena pada umur 25-49 tahun libido tinggi dan mereka umumnya sudah bekerja sehingga ada uang untuk membeli seks.
Yang jadi masalah besar adalah: Dengan kondisi penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bisa dicegah dengan kondom yang dijual bebas, mengapa tetap banyak yang tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual?
Tentu saja ada yang salah dalam sosialisasi HIV/AIDS karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama yang mengaburkan fakta medis dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual selalu dikait-kaitkan dengan seks sebelum menikah, zina, pelacuran, perselingkuhan dan homoseksual.
Bahkan, selalu dengan jargon yang ngaco bin ngawur yaitu 'seks bebas.' Tidak jelas apa arti dan makna 'seks bebas' karena ini terjemahan bebas dari 'free sex' yang justru tidak ada di kamus-kamus Bahasa Inggris.
Lagi pula penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, zina, melacur, dan seterusnya), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap hubungan seksual (Lihat matriks).
Selama materi KIE tentang HIV/AIDS terus dibalut dan dibumbui dengan moral dan agama, maka selama itu pula banyak orang yang akan terjerumus ke perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Seseorang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, jika pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,Â
(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan
(3). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.
Untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru hanya bisa dilakukan jika ada program konkret yaitu intervensi terhadap tiga perilaku di atas. Selama tidak ada intervensi, maka kasus demi kasus HIV baru akan terus terjadi sebagai 'bom waktu' yang akhirnya kelak sampai pada 'ledakan AIDS.' *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H