Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengkritisi Perda Penyimpangan Seksual Kota Bogor

2 Mei 2022   16:13 Diperbarui: 15 Oktober 2023   16:18 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: prezi.com)

Hubungan seksual atau penyimpangan seksual baru akan jadi masalah hukum jika terjadi pelecehan seksual dan kekerasan seksual

Rupanya, bagi Pemkot Bogor, Jawa Barat (Jabar), penyimpangan seksual jadi masalah besar yang pada akhirnya terbit peraturan yaitu Peraturan Daerah (Perda) Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual yang disahkan oleh Wali Kota Bogor, Bima Arya, tanggal 21 Desember 2021.

Defenisi penyimpangan seksual (sexual deviance) diatur di Pasal 1 ayat 5, disebutkan: Perilaku Penyimpangan Seksual adalah perilaku seseorang dalam hubungan seksual yang berorientasi pada kepuasan seksual yang diperoleh dari atau yang ditujukan kepada objek seksual secara tidak wajar.

Perda ini tidak objektif karena mengabaikan fakta terkait perbuatan seksual yang juga melawan norma, moral, agama dan hukum.

Petanyaan yang sangat mendasar adalah:

Apa yang menyimpang?

Mengapa disebut menyimpang?

Soalnya, secara seksual tidak ada hubungan seksual yang menyimpang selama tidak terkait dengan perbuatan yang melawan hukum.

Lagi pula bentuk-bentuk yang disebut sebagai penyimpangan seksual di Perda ini justru terjadi di ranah privat dengan sukarela. Penyimpangan seksual baru bisa jadi urusan hukum jika terjadi perbuatan yang melawan hukum, seperti pemaksaan (pemerkosaan, sodomi, seks oral), inses, perizinaan (delik aduan), hubungan seksual di bawah umur secara paksa dengan lawan jenis, pedofilia (menyalurkan dorongan hasrat seksual dengan anak-anak umur 7-12 tahun), infantofilia (menyalurkan dorongan hasrat seksual dengan anak-anak umur 0-7 tahun), mengintip, hubungan seksual dengan binatang.

Baca juga: Infantofilia Mengintai Bayi dan Anak-anak Sebagai Pelampiasan Seks

Sementara hubungan seksual penetrasi (seks anal) pada homoseksualitas (gay) dan hubungan sekual tanpa penetrasi pada lesbian merupakan kegiatan di ranah privasi berdasarkan suka sama suka yang disebut juga berlandaskan cinta.

Penyimpangan seksual mengacu pada sifat perilaku seksual yang tidak sesuai dengan norma, moral, agama dan hukum serta dianggap aneh atau abnormal oleh masyarakat. Lebih tepat lagi penyimpangan seksual merupakan pandangan masyarakat dengan pijakan norma, moral dan agama yang bagi pelaku tidak jadi masalah secara seksual.

Celakanya, perselingkuhan dan zina yang dilakukan seorang suami tidak dikelompokkan sebagai penyimpangan seksual. Padahal, perzinaan, terutama yang dilakakan oleh laki-laki atau perempuan yang terikat pernikahan merupakan perbuatan yang melawan norma, moral, agama dan hukum.

Penyimpangan seksual yang disebut dalam Perda ini lebih condong sebagai parafilia yaitu cara-cara menyalurkan dorongan hasrat seksual dengan cara yang lain. Cara yang lain inilah yang disebut penyimpangan karena berbeda dengan standar norma, moral, budaya dan agama serta kultur masyarakat.

Baca juga: Parafilia: Menyalurkan Dorongan Hasrat Seksual "Dengan Cara yang Lain"

Bentuk-bentuk penyimpangan seksual dalam Perda ini diatur di Pasal 6, yaitu:

a. laki-laki penyuka laki-laki (homoseksual);

b. perempuan penyuka perempuan (lesbian);

c. biseksual

d. pencinta seks anak (pedofilia erotica);

e. waria (transvetisme);

f. pamer alat vital (ekshibionisme);

g. pengintip (voyeurisme);

h. hubungan intim sedarah (insestus);

i. seks dengan kekerasan (sadisme);

j. ketertarikan pada benda mati/objek seksual (fetisisme seksual);

k. pencinta mayat (nekrofilia);

l. berhubungan seks dengan lebih dari 1 (satu) orang secara bersamaan;

m. kepuasan ketika melihat pasangan berhubungan seks dengan orang lain (triolisme);

n. seks dengan hewan (bestialitas); dan

o. segala perilaku atau aktivitas seksual yang secara agama, budaya, norma sosial, psikologis dan/atau medis dinyatakan sebagai perilaku penyimpangan seksual.

Yang tidak masuk akal dalam Perda ini homoseksual, lesbian, biseksual dan waria (transgender) dikelompokkan sebagai penyimpangan seksual. Padahal, homoseksual, lesbian, biseksual adalah orientasi seksual. Sedangkan transgender adalah identitas gender. Maka, homoseksual, lesbian, biseksual dan waria jelas bukan penyimpangan seksual karena itu kondisi bukan perilaku.

Orientasi seksual (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)
Orientasi seksual (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Kalaupun yang dimaksud Perda ini hubungan seksual yang dilakukan oleh homoseksual, lesbian, biseksual dan waria sebagai penyimpangan seksual, maka laki-laki heteroseksual justru jadi pelanggan waria. Sedangkan hubungan seksual pada lesbian tidak terjadi penetrasi.

Studi di Kota Surabaya, Jatim, awal tahun 1990-an menunjukkan laki-laki heteroseksual yang jadi pelanggan waria adalah para suami dan mereka jadi 'perempuan' (disebut ditempong) ketika melakukan hubungan seksual dengan waria yang jadi 'laki-laki'(disebut menempong).

Sedangkan biseksual melakukan hubungan seksual penetrasi vaginal dengan perempuan dan seks anal dengan laki-laki, maka ini separuh penyimpangan seksual karena dalam Perda ini zina dan selingkuh tidak masuk kelompok penyimpangan seksual.

Baca juga: Mahasiswi "Topless" di Samarinda, Kaltim: Eksibisionisme Setengah Hati

Di bagian pencegahan dan penanggulangan pun tidak ada cara-cara yang konkret dan realistis ditawarkan dalam Perda. Di Pasal 9 disebutkan: Pemerintah Daerah Kota melakukan pencegahan perilaku penyimpangan seksual melalui:

a. komunikasi, informasi, dan edukasi;

b. sosialisasi dan penyuluhan kesehatan;

c. penyelenggaraan konseling

d. penyelengaraan rehabilitasi baik fisik, mental, dan sosial terhadap korban; dan

e. pemantauan media dan internet

Lagi pula yang kasat mata hanya waria, sedangkan pelaku orientasi seksual lain, yang disebut menyimpang, tidak kasat mata sehingga tidak bisa dikenali dari fisiknya. Tidak ada ciri-ciri khas gay, lesbian, biseksual, dan lain-lain selama mereka tidak melakukan tindakan yang melawan hukum.

Lalu, siapa sasaran pencegahan? Di Pasal 11 ayat (2) disebut: Sasaran sosialisasi dan penyuluhan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada:

a. masyarakat umum;

b. aparatur pemerintah;

c. anak dan remaja pada sektor pendidikan formal, nonformal, dan informal;

d. tokoh masyarakat; dan

e. organisasi masyarakat.

Sasaran yang sangat luas yang tidak fokus sehingga tidak akan ada indikator keberhasilan. Tidak ada yang bisa memastikan penyebab mengapa terjadi orientasi seksual homoseksual, lesbian, biseksual dan waria sehingga sosialisasi dan penyuluhan tidak menemukan sasaran. Di beberapa negara ada larangan 'mengobati' orientasi seksual karena homoseksual, lesbian, biseksual dan transgender bukan penyakit.

Di Pasal 19 (1) dan (2) disebutkan: Masyarakat dapat berperan aktif untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pencegahan dan penanggulangan terhadap perilaku penyimpangan seksual. Peran serta masyarakat dapat dilakukan oleh: a. setiap anggota keluarga dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga.

Pasal ini akan menyuburkan stigmatisasi (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap keluarga yang anggota keluarganya terindikasi pelaku seks menyimpang karena dianggap tidak mempunyai ketahanan keluarga. Padahal, oritentasi seksual bukan karena pengaruh lingkungan keluarga.

Kalau saja Perda ini mengacu ke perbuatan-perbuatan yang bisa dijerat dengan hukum, seperti sodomi (pemerkosaan secara seks anal yang bisa saja dilakukan hoteroseksual atau homoseksual), pedofilia, infantofilia, bestialis dan nekrofilia maka Perda ini akan jauh lebih bermanfaat.

Soalnya, tidak ada pasal yang khusus mengatur sanksi pidana bagi pelaku perbuatan bestialis dan nekrofilia di KUHP. (infantofilia).*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun