Ketika informasi HIV/AIDS tidak objektif yaitu hanya menyasar gay, maka masyarakat akan terlena karena mereka menganggap perilakunya tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Kondisinya kian runyam kalau tidak ada mekanisme yang komprehensif untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat.
Di bagian lain disebutkan oleh Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Dinkes Kota Sukabumi, dr Lulis Delawati: "Intinya, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa LGBT adalah masalah kesehatan jiwa. Hal ini memiliki risiko terpapar IMS dan HIV Aids lebih tinggi dan menjadi penyumbang terbesar kasus HIV Aids khususnya LSL atau gay." Â
Pernyataan ini lagi-lagi tidak akurat karena sudah ada klarfikasi dari WHO menyebutkan gay bukan masalah kejiwaan. Sedangkan risiko tertular HIV/AIDS bukan karena orientasi seksual, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual.
Hubungan seksual yang dilakukan kalangan laki-laki heteroseksual dengan PSK bukan masalah kesehatan jiwa tapi berisiko tinggi terjadi penularan HIV/AIDS. Laki-laki heteroseksual yang tertular HIV/AIDS jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam nikah dan di luar nikah, terutama kepada istrinya. Pada akhirnya penyebaran HIV/AIDS secara diam-diam akan jadi 'ledakan AIDS' di Kota Sukabumi. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H