Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lagi-lagi Pengamat Internasional "Asbun" Soal Demokrasi di Indonesia

15 April 2019   13:53 Diperbarui: 15 April 2019   13:57 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada daftar berita abc.net.au/indonesian (10/4-2019) ada judul "Pengamat Australia Menilai Jokowi Lemah Menjaga Demokrasi di Indonesia" tapi setelah di-klik judulnya justru berbeda dan berubah jadi "Dibawah Jokowi Atau Prabowo, Indonesia Masih Akan Alami Tekanan Demokrasi".

Lagi-lagi pengamat asing (baca: internasional) mengabaikan fakta tentang pemerintahan Indonesia sejak reformasi. Itu artinya pembahasan demokrasi di Indonesia sama sekali tidak menyentuh akar persoalan yaitu sistem pemerintahan yang secara de facto adalah bentuk negara federal dengan otonomi penuh pada daerah yaitu pemerintaha provinsi, kabupaten dan kota (Otonomi Daerah).

Mengabaikan Fakta

Disebutkan, Catatan soal pemimpin Indonesia: Jokowi dinilai telah berkompromi dengan politisi korup dan pemimpin agama intoleran.

Dalam berita disebutkan pernyataan di atas merupakan laporan Lowy Institute, lembaga think tank Australia yang berbasis di Sydney yang berjudul Politics in Indonesia: Resilient election, defective democracy dirilis (10/4-2019).

Lagi-lagi pakar internasional ternyata berbicara dengan sudut pandang kesinisan dengan cara mengabaikan fakta yaitu otonomi daerah (Otda) dan sistem pemerintah yang secara de facto sudah dalam bentuk negara federasi. Hak-hak prerogatif presiden pun harus disetujui oleh DPR.

[Baca juga: Direktur HRW Lancarkan Provokasi Terhadap (Kebijakan) Presiden Jokowi]

Kesimpulan Lowy Institute di atas tentu saja mengingkari fakta. Di masa pemerintahan Jokowi oknum politisi, eksekutif dan yudikatif justru banyak yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan, bulan lalu salah satu Ketua Umum parpol pengusung Capres/Cawapres No 01 Jokowi-Ma'ruf yaitu Ketua Umum PPP, Romahurmuziy, tertangkap tangan dalam OTT (operasi tangkap tangan) KPK.

Jokowi sama sekali tidak campur-tangan. Lowy Institute tidak memberikan contoh nama politisi korup yang kompromi dengan Presiden Jokowi sehingga pernyataan Lowy Institute itu merupakan fitnah. Lembaga yang menyebut diri think tank ternyata tidak berjalan dengan fakta.

Yang paling tidak masuk akal sehat adalah pernyataan: Jokowi dinilai telah berkompromi dengan pemimpin agama intoleran.

Apa dan siapa, sih, sebenarnya sumber Low Institute (di Indonesia)?

Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi selalu mengingatkan keberagaman sebagai bagian dari toleransi di Indonesia. Ini fakta.

Jokowi justru diserang dengan berbagai jargon yang menempatkannya seolah-olah anti Islam. Misalnya, digembar-gemborkan kriminalisasi agama. Ini jelas ngawur bin ngaco karena agamawan yang berurusan dengan polisi bukan karena pemerintan, tapi karena diadukan oleh warga ke polisi.

Tidak ada alasan hukum polisi menolak pengaduan warga sehingga polisi melakukan prosedur sesuai hukum yaitu penyelidikan. Jika ada unsur perbuatan melawan hukum maka ditingkatkan ke penyidikan tentu saja dengan menetapkan tersangka.

MK Amputasi Wewenang Kemendagri

Adalah hal yang tidak masuk akal kalau kemudian Capres No 02 Prabowo Subianto mengatakan: .... ia akan menjemput pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab jika menang di pemilihan presiden 2019. Menurut Prabowo, Rizieq telah difitnah dan dizalimi oleh pihak-pihak tertentu yang tak menyukainya (pilpres.tempo.co, 27/2-2019). Pernyataan Prabowo ini merupakan intervensi terhadap (proses) hukum pidana.

Prabowo mengabaikan fakta hukum bahwa Rizieq melarikan diri ke luar negeri dari panggilan polisi terkait dengan beberapa kasus yang melawan hukum yang merupakan pengaduan warga ke polisi. Kalau Rizieq merasa dititnah dan dizalimi, maka langkah arif dan bijaksana bukan   melarikan diri dari hukum, tapi melakukan praperadilan melalui pengadilan neger. Proses persidangan praperadilan di pengadilan negeri terbuka untuk umum. Peradilan sesuai dengan undang-undang. Beberapa kasus yang ditangani polisi, bahkan KPK, digagalkan melalui praperadilan.

Di bagian lain berita disebutkan: .... jika Jokowi memenangkan masa jabatan kedua, sekaligus yang terakhir bagi dirinya, ia tidak mungkin membuat kemajuan yang signifikan dalam reformasi ekonomi, hukum, dan politik yang mendesak dibutuhkan warga Indonesia saat ini.

Nah, lagi-lagi think tank ini tidak melihat fakta hukum terkait dengan kondisi Indonesia yang sudah dipecah-pecah oleh Otda. Tidak ada lagi garis komando dari presiden-menteri-guburnur-bupati/walikota dalam banyak aspek negara karena daerah adalah pemerintahan otonom yang berkuasa penuh atas semua aspek negara kecuali, internasional, moneter dan hamkam.

Adalah Presiden Megawati Soekarnoputri yang memberikan otonomi khusus berbasis syariah Islam kepada Aceh sehingga Aceh mempunyai partai, bendera, mata uang dan peraturan sendiri berdasarkan syariah Islam.

Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah mengebiri bahkan mengamputasi wewenang pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, untuk mencabut atau membatalkan peraturan daerah (Perda). Apakah 'kaki tangan' atau sumber Low Institute di Indonesia tidak mengetahui hal ini? Kebangetan ....

[Baca juga: MK Amputasi Wewenang Kemendagri Cabut Regulasi Lokal]

Semua pemerintah akan mencabut perda-perda yang menghambat pembangunan, tapi diplintir dengan menyebutkan bahwa Jokowi akan mencabut perda-perda syariah (Islam). Di banyak daerah belakangan ini muncul perda syariah yang mengatur berbagai hal terkait dengan judi, miras dan pelacuran tapi mengabaikan pencurian dan tindak pidana lain. Aceh, misalnya, tidak membuar qanun (Perda) yang mengatur hukuman bagi pencuri, termasuk koruptor dan penerima suap.

Disebutkan pula: Joko Widodo menjadi pemimpin yang berhati-hati dan seringkali berkompromi dengan lawan-lawan politiknya, ketimbang melawannya. "Ia menunjukkan dirinya tidak mampu, atau bahkan tidak ingin melakukan reformasi ekonomi dan politik lebih mendalam yang sedang dibutuhkan saat ini," ujar Ben Bland.

Lagi-lagi Ben menutup mata terhadap Otonomi Daerah dan kekuasaan yang sudah diamputasi oleh MK. Ben sangat gegabah mengatakan "Ia (Jokowi-pen.) menunjukkan dirinya tidak mampu, ...."

Pengaduan Warga

Jika Jokowi melalukan intervensi terhadap daerah otonom itu merupakan perbuatan melawan hukum yang konsekuensinya pidana dengan sanksi hukum penjara. Tolonglah, Ben, berpikir jernih jangan melirik dari menara gading atau mendengar bisikan 'kaki tangan'-mu yang bisa saja dari kubu 'the haters'.

Contoh yang faktual, Ben, minumam beralkohol dengan kadar di bawah 4 persen adalah legal dan tidak perlu surat izin usaha untuk menjualnya yaitu dalam bentuk bir botol atau kaleng. Tapi, banyak daerah, bahkan dengan basis Kristen, membuat Perda melarang peredaran bir. Apakah Tuan Ben mengetahui hal ini? Kalau Tuan Ben seorang pakar, berikanlah jalan keluar agar bir bisa dijual bebas.

Ada lagi Perda yang mengekang perempuan dengan melarang perempuan keluar malam mulai pukul 22.00 -- 06.00. Ini sudah makan korban yaitu Perda Anti Pelacuran Kota Tangerang No 9/2005. Seorang istri menunggu suami di halte sepulang kerja shitf malam. Tapi, Satpol PP Kota Tengerang tidak percaya dia istri biar pun ada keterangan dari RT tempat tinggalnya. Satpol PP mengatakan di tas perempuan itu ada lipstik sehingga memenuhi unsur perda dengan tuduhan sebagai pekerja seks. Apakah Tuan Ben mengetahui fakta ini?

Ada lagi pernyataan: Laporan tersebut juga menyebut Jokowi telah terbukti sebagai seorang yang lemah dalam menjaga demokrasi di Indonesia. "Ia (Jokowi-pen.) telah membiarkan melemahnya aturan hukum dan proteksi terhadap minoritas," jelas Ben.

Tuan Ben ini rupanya memakai teropong dari menara gading sehingga tidak melihat fakta hukum tentang Otonomi Daerah di Indonesia. Tahun 2018 seorang perempuan di Kota Tanjungbalai, Sumut, Meiliana, yang mengeluh karena pengeras suara di masjid terlalu keras saja dihukum 18 bulan penjara dengan  pasal 156 dan 156a KUHP tentang penistaan agama (liputan6.com, 22/8-2019).

Ada lagi pernyataan: Menjebloskan Ahmad Dhani ke penjara karena isi Twitter-nya, atau kasus Robertus Robert yang menyanyikan lagu yang mengejek TNI, serta beberapa acara anti-Jokowi yang dibubarkan polisi, menjadi contoh yang disajikan dalam laporan tersebut.

Astaga, Tuan Ben. Ahmad Dhani tersangkut masalah hukum bukan karena anti-Jokowi tapi karena laporan warga terkait dengan kasus ujaran kebencian. Vonis hakim di PN Jakarta Selatan berdasarkan pasal 45A ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITEN) juncto pasal 28 ayat 2 Undang-Undang ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (news.detik.com, 28/1-2019). Proses peradilan berdasaran pengaduan warga bukan pengaduan Jokowi. Robertus juga menghadapi hukum karena pengaduan bukan karena anti-Jokowi.

Tidak ada kewenang polisi menolak pengaduan warga terkait dengan UU ITE. Polisi kemudian melakukan penyelidikan, jika ada unsur pidana ditingkatkan ke penyidikan dengan tersangka yang selanjutnya diteruskan ke kejaksaan dan disidangkan di pengadilan.

Ini lembaga think tank atau tank yang lain atau 'provokator'? *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun