Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Diskriminasi dan Eufemisme Pelacuran Dorong Penyebaran AIDS di Indonesia

7 Januari 2019   11:58 Diperbarui: 9 Januari 2019   14:44 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: (Sumber: 123rf.com)

Sejak awal era reformasi 'gerakan moral' al. diperlihatkan secara masif dengan menentang 'rehabilitasi dan resosialisasi' (resos) terhadap pekerja seks komersial (PSK) melalui lokalisasi pelacuran. Tempat-tempat pelacuran yang dijadikan resos ditutup.

Pada saat yang sama epidemi HIV/AIDS dan IMS [infeksi menular seksual yang lebih dikenal sebagai 'penyakit kelamin', yaitu kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), herpes genitalis, hepatitis B, klamidia, jengger ayam, virus  kanker serviks, dll.] tidak lagi terbendung karena transaksi seks sebagai bentuk pelacuran terselubung terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. 

Bahkan belakangan ini melibatkan 'artis' dan cewek-cewek yang didandani seperti 'artis' tertentu dengan berbagai modus sampai memakai media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dll.

Seumur Manusia

Dengan melokalisir praktek pelacuran bisa dilakukan intervensi yaitu memaksa laki-laki selalu memakai kondom setiap kali seks dengan PSK sehingga insiden infeksi HIV baru bisa ditekan. Selain itu penyebaran IMS pun bisa diputus, seperti yang dijalankan oleh sebuah yayasan di Denpasar, Bali.

[Baca juga: Menjemput PSK di Denpasar untuk Memutus Mata Rantai Penyebaran Penyakit]

Estimasi kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 630.000 sedangkan yang sudah terdeteksi, seperti dilaporkan oleh Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1 Oktober 2018, sebanyak 410.788 yang terdiri atas 301.959 HIV dan 108.829 AIDS dengan 15.855 kematian.

Dunia pelacuran disebut-sebut seumur dengan kehidupan manusia di Bumi. Salah satu bukti adalah pelacuran di zaman Mesopotamia Kuno dan periode Neo-Babilonia, sekitar 626 SM hingga 539 SM. Ketika itu ada keyakinan kegiatan seksual antara pelacur dan agamawan sakral yang berguna bagi masyarakat sebagai cara untuk menyenangkan Dewa (soc.ucsb.edu).

Pelacuran berkembang tidak hanya dengan imbalan uang, tapi juga memakai narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) dan belakangan sebagai imbalan untuk penguasa sebagai imbalan untuk fasilitas dan kemudahan disebut sebagai gratifikasi seks.

Pelacuran dinilai terbatas sehingga dimuculkan istilah PSK dengan cakupan yang lebih luas yaitu terkait dengan perdagangan seks mulai dari pelacuran, rumah bordir, telepon seks, penari striptis, penari eksotis, pornografi dan pornoaksi.

Ketika para ahli menemukan virus penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu kondisi pengidap HIV/AIDS setelah 5-15 tahun) yang pada tahun 1986 diakui oleh WHO yaitu HIV (human immunodeficiency virus yaitu retrovirus yang menggandakan diri di sel-sel darah putih manusia) sudah pula diketahui salah satu cara  penularannya adalah melalui hubungan seksual penetrasi antara orang yang mengidap HIV/AIDS kepada orang lain. 

Tapi, bisa juga kepada orang yang juga pengidap HIV/AIDS karena sebagai virus HIV dikenal terdiri atas beberapa sub-tipe. Yang sudah ditemukan yaitu sub-tipe A sampai O. Di Indonesia umumnya sub-tipe HIV adalah E yang juga ada di Malaysia dan Thailand.

Celakanya, di Indonesia banyak kalangan mulai dari tokoh, kalangan medis sampai menteri kesehatan memoralisasi penularan HIV dengan mengatakan bahwa HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual di luar nikah. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom.

Terminologi Ngawur

Tidak hanya sampai di situ mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS terus disebarluaskan, seperti HIV/AIDS menular melalui PSK di lokalisasi pelacuran, menular melalui seks menyimpang, menular melalui homoseksual, dll. Akibatnya, banyak orang yang terkecoh karena termakan mitos sehingga tertular HIV. Misalnya, merasa tidak seks dengan PSK, tapi dengan 'artis' atau cewek cakep pelacur online di hotel berbintang.

[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]

Eufemisme terkait dengan zina, terutama seks dengan PSK, juga mewarnai moralisasi perilaku amoral di Indonesia yaitu dengan memakai istilah 'seks bebas'. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'seks bebas'. Istilah ini muncul di tahun 1970-an sebagai padanan kata 'free sex' yang dikaitkan dengan kaum hippies yang memberontak kemapanan.

Celakanya, dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak dikenal terminologi 'free sex'. Tidak ada laman 'free sex' di kamus bahasa Inggris. Yang ada adalah 'free love' yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).

[Baca juga: 'Seks Bebas' Jargon yang Bebas Stigma Sebagai Pembenaran Berzina dan Melacur dan 'Seks Bebas' Jargon yang Bebas Stigma Sebagai Pembenaran Berzina dan Melacur]

Dengan menyebut 'seks bebas' tidak ada lagi beban moral karena tidak terkait langsung dengan zina di dunia pelacuran.

Yang juga menyesatkan adalah 'seks bebas'  jadi jargon moral yang  hanya dikaitkan dengan  perilaku seksual di luar nikah kalangan remaja. Itu artinya zina di kalangan dewasa, termasuk yang terikat dalam pernikahan, tidak termasuk 'seks bebas'. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian hukum tidak bisa menjerat laki-laki yang membeli seks biar pun dalam kondisi tangkap tangan.

Istilah pelacuran sudah dikenal luas, bahkan dalam bahasa resmi yaitu 'lokalisasi pelacuran'. Tapi, belakangan yang dipakai adalah prostitusi (KBBI: pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan). Istilah pelacuran tidak bermuatan moral karena tidak terkait langsung dengan pelacur yang juga disebut sebagai perempuan jalang.

Ilustrasi (Sumber: dailymail.co.uk)
Ilustrasi (Sumber: dailymail.co.uk)
Persoalan besar terkait dengan pelacuran justru laki-laki karena merekalah pelacuran hidup yaitu dengan membeli seks kepada PSK. Dalam kaidah ekonomi permintaan (demand) berupa keinginan laki-laki untuk membeli seks mendorong penyediaan PSK (supply). 

Di sini berperan germo atau mucikari yang menjadi fasilitator antara laki-laki dan PSK. Tidak sedikit laki-laki beristri yang 'curhat' ke PSK dan berharap bisa memuaskan PSK. Celakanya, PSK memanfaatkan hal itu sehingga 'permainan' pun cepat selesai.

[Baca juga: Pelacuran: Persoalan Bukan pada Pekerja Seks tapi pada Laki-laki 'Hidung Belang' dan Duka Derita PSK di 'Sarkem' Yogyakarta]

Moralisasi pelacuran juga terkadang di luar akal sehat. Di wilayah Pantura (pantai utara Pulau Jawa), khususnya di kawasan Cirebon seks dengan perempuan di tempat-tempat yang menyediakan PSK, seperti warung, panti pijat, dll. disebut sebagai 'esek-esek'.

[Baca juga: Praktek 'Esek-esek' di Kab Cirebon, Jabar]

Istilah ini benar-benar 'netral' dan bebas moral karena sama sekali tidak terkait langsung dengan zina dan pelacuran. Coba simak percakapan ini:

Si A: Dari mana, Pak?

Si B: Ah, habis esek-esek!

Sama sekali tidak ada beban moral karena secara umum tidak ada kaitan langsung antara esek-esek dengan zina dan pelacuran.

Sensasi

Ketika Satpol PP melakukan razia penyakit masyarakat (Pekat) dan menangkap perempuan, yang mereka sebut sebagai PSK, di tempat-tempat yang dulu sebagai lokasi atau lokasisai pelacuran, perempuan-perempuan itu langsung menjalani tes HIV tanpa melalui standar baku tes HIV, seperti konseling, informed consent dan konfidensialitas.

Seorang PSK yang sering mangkal di 'jalan vagina raya' (julukan untuk Jalan Nusantara di seberang pelabuhan Makassar, Sulsel) yang ditangkap Satpol PP langsung tes HIV dan identitasnya diketahui wartawan. Akibatnya, perempuan itu berkali-kali diusir dari kontrakannya karena foto perikahannya dimuat sebagai foto headline media cetak.

[Baca juga: Berkali-kali Diusir Karena Dikenal Sebagai 'Pengantin AIDS']

Sebaliknya, ketika Satpol PP dan polisi atau gabungan merazia penginapan, hotel melati dan hotel berbintang atau menangkap perempuan yang disebut terlibat prostitusi online, seperti penangkapan terhadap 'artis' VA (5/1-2019) di sebuah hotel di Surabaya, polisi tidak melakukan tes HIV terhadap mereka.

Maka, terjadi diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap PSK jalanan dan 'artis' serta cewek prostitusi online terkait dengan tes HIV.

[Baca juga: Prostitusi "Artis" (Bisa) Jadi Mata Rantai Penyebaran HIV/AIDS]

Tes HIV yang dilakukan terhadap PSK jalanan, cewek prostitusi online dan prostitusi 'artis' erat kaitannya dengan penanggulangan HIV/AIDS. Jika hasil tes HIV positif, persoalan besar bukan pada PSK jalanan, cewek prostitusi online dan prostitusi 'artis', tapi ada pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK jalanan, cewek prostitusi online dan prostitusi 'artis' tsb.

Celakanya, staf Dinas Kesehatan dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) serta aktivis AIDS setempat tidak bisa memberikan informasi yang komprehensif kepada wartawan agar berita tidak sekedar sensasi. Begitu juga dengan banyak wartawan yang tidak bisa membawa data tsb. ke realitas sosial sehingga berita yang mereka tulis pun hanya sebatas sensasi yang tidak bernilai jurnalistik karena tidak membawa pencerahan terhadap masyarakat.

Ilustrasi (Sumber: hindustantimes.com)
Ilustrasi (Sumber: hindustantimes.com)
Dengan tidak melakukan tes HIV terhadap cewek prostitusi online dan prostitusi 'artis' mitos pun kian kental yaitu HIV/AIDS hanya ada pada PSK jalanan di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Padahal, data Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 1/10-2018 menunjukkan dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2018 kasus AIDS pada kalangan wiraswasta/usaha sendiri sebanyak 14.331 dari 108.829 atau 13,2 persen. Mereka ini kemungkinan besar seks dengan cewek prostitusi online dan prostitusi 'artis'.

Indikator lain adalah kasus AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga sebanyak 15.410 dari tahun 1987 sd. 30 Juni 2018, dan kasus sifilis yang terdeteksi pada ibu hamil.

Yang perlu disebarluaskan bukan cerita tentang PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi anjuran kepada laki-laki yang pernah atau sering seks dengan PSK agar segera menjalani tes HIV agar istrinya tidak tertular HIV dan anak-anaknya kelak tidak lahir dengan HIV/AIDS. *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun