Di sini berperan germo atau mucikari yang menjadi fasilitator antara laki-laki dan PSK. Tidak sedikit laki-laki beristri yang 'curhat' ke PSK dan berharap bisa memuaskan PSK. Celakanya, PSK memanfaatkan hal itu sehingga 'permainan' pun cepat selesai.
[Baca juga: Pelacuran: Persoalan Bukan pada Pekerja Seks tapi pada Laki-laki 'Hidung Belang' dan Duka Derita PSK di 'Sarkem' Yogyakarta]
Moralisasi pelacuran juga terkadang di luar akal sehat. Di wilayah Pantura (pantai utara Pulau Jawa), khususnya di kawasan Cirebon seks dengan perempuan di tempat-tempat yang menyediakan PSK, seperti warung, panti pijat, dll. disebut sebagai 'esek-esek'.
[Baca juga: Praktek 'Esek-esek' di Kab Cirebon, Jabar]
Istilah ini benar-benar 'netral' dan bebas moral karena sama sekali tidak terkait langsung dengan zina dan pelacuran. Coba simak percakapan ini:
Si A: Dari mana, Pak?
Si B: Ah, habis esek-esek!
Sama sekali tidak ada beban moral karena secara umum tidak ada kaitan langsung antara esek-esek dengan zina dan pelacuran.
Sensasi
Ketika Satpol PP melakukan razia penyakit masyarakat (Pekat) dan menangkap perempuan, yang mereka sebut sebagai PSK, di tempat-tempat yang dulu sebagai lokasi atau lokasisai pelacuran, perempuan-perempuan itu langsung menjalani tes HIV tanpa melalui standar baku tes HIV, seperti konseling, informed consent dan konfidensialitas.