Tapi, bisa juga kepada orang yang juga pengidap HIV/AIDS karena sebagai virus HIV dikenal terdiri atas beberapa sub-tipe. Yang sudah ditemukan yaitu sub-tipe A sampai O. Di Indonesia umumnya sub-tipe HIV adalah E yang juga ada di Malaysia dan Thailand.
Celakanya, di Indonesia banyak kalangan mulai dari tokoh, kalangan medis sampai menteri kesehatan memoralisasi penularan HIV dengan mengatakan bahwa HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual di luar nikah. Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dengan kondisi suami atau laki-laki tidak memakai kondom.
Terminologi Ngawur
Tidak hanya sampai di situ mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS terus disebarluaskan, seperti HIV/AIDS menular melalui PSK di lokalisasi pelacuran, menular melalui seks menyimpang, menular melalui homoseksual, dll. Akibatnya, banyak orang yang terkecoh karena termakan mitos sehingga tertular HIV. Misalnya, merasa tidak seks dengan PSK, tapi dengan 'artis' atau cewek cakep pelacur online di hotel berbintang.
[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]
Eufemisme terkait dengan zina, terutama seks dengan PSK, juga mewarnai moralisasi perilaku amoral di Indonesia yaitu dengan memakai istilah 'seks bebas'. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan 'seks bebas'. Istilah ini muncul di tahun 1970-an sebagai padanan kata 'free sex' yang dikaitkan dengan kaum hippies yang memberontak kemapanan.
Celakanya, dalam kosa kata Bahasa Inggris tidak dikenal terminologi 'free sex'. Tidak ada laman 'free sex' di kamus bahasa Inggris. Yang ada adalah 'free love' yaitu hubungan seksual tanpa ikatan nikah (The Advanced Learner's Dictionary of Current English, Oxford University Press, London, 1963).
[Baca juga: 'Seks Bebas' Jargon yang Bebas Stigma Sebagai Pembenaran Berzina dan Melacur dan 'Seks Bebas' Jargon yang Bebas Stigma Sebagai Pembenaran Berzina dan Melacur]
Dengan menyebut 'seks bebas' tidak ada lagi beban moral karena tidak terkait langsung dengan zina di dunia pelacuran.
Yang juga menyesatkan adalah 'seks bebas'  jadi jargon moral yang  hanya dikaitkan dengan  perilaku seksual di luar nikah kalangan remaja. Itu artinya zina di kalangan dewasa, termasuk yang terikat dalam pernikahan, tidak termasuk 'seks bebas'. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian hukum tidak bisa menjerat laki-laki yang membeli seks biar pun dalam kondisi tangkap tangan.
Istilah pelacuran sudah dikenal luas, bahkan dalam bahasa resmi yaitu 'lokalisasi pelacuran'. Tapi, belakangan yang dipakai adalah prostitusi (KBBI: pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan). Istilah pelacuran tidak bermuatan moral karena tidak terkait langsung dengan pelacur yang juga disebut sebagai perempuan jalang.