Cegah Penularan Virus HIV/AIDS, Dinkes Kota Bogor Lakukan Ini. Ini judul berita di radarbogor.id (31/10-2018).
Dari dari 2005 sampai 2018 di Kota Bogor sudah terdeteksi sekitar 4.000 kasus HIV/ AIDS (radarbogor.id , 31/10-2018)
Judul ini menjanjikan, tapi kenyataannya nol besar karena tidak ada langkah konkret yang akan dilakukan Pemkot Bogor, Jawa Barat, untuk mencegah insiden infeksi (penularan) HIV baru.
Dalam berita disebutkan tidak ada kasus (HIV/AIDS) baru. Caranya? Untuk itu, terus sosialisasi pencegahan.
Sosialisasi tentang HIV/AIDS sudah dilakukan sejak awal epidemi HIV/AIDS yang diakui pemerintah di Indonesia yaitu sejak tahun 1987.
[Baca juga: Menyoal (Kapan) 'Kasus AIDS Pertama' di Indonesia]
Yang jadi masalah: Apakah sosialisasi bisa menghentikan perilaku-perilaku berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS di bawah ini?
 Perilaku berisiko tertular HIV/AIDS yang dilakukan sebagian warga Kota Bogor menambah kasus baru di Kota Bogor, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang berganti-ganti, di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (zina, selingkuh, dll.), di wilayah Kota Bogor, di luar wilayah Kota Bogor. dan di luar negeri.
Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV pada istrinya. Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI);
(2). Perempuan dewasa heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, di dalam nikah (kawin-cerai) dan di luar nikah (zina, selingkuh, dll.), di wilayah Kota Bogor, di luar wilayah Kota Bogor, dan di luar negeri.
Dalam kehidupan sehari-hari perempuan ini bisa sebagai seorang istri sehingga ada risiko penularan HIV pada suaminya. Ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui ASI;
(3). Laki-laki dewasa heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, yaitu pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung.
Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki bisa sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV pada istrinya. Jika istrinya tertular HIV, maka ada pula risiko penularan HIV secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Yang dimaksud dengan:
(a). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek online, dll.
Pertanyaan untuk Wali Kota Bogor: Apakah ada jaminan di wilayah Kota Bogor tidak ada praktek pelacuran yang melibatkan PKS langsung dan PSK tidak langsung?
Kalau jawabananya TIDAK, maka itu artinya insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa terus terjadi yang pada gilirannya mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Atau bisa jadi Wali Kota Bogor mengatakan: Tidak ada lokalisasi pelacuran di Kota Bogor!
Itu benar Pak Wali, tapi apakah ada jaminan tidak ada transaski seks sebagai bentuk pelacuran yang melibatkan PSK di Kota Bogor?
Tentu saja tidak ada jaminan karena transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai macam modus bahkan memakai alat telekomunikasi, seperti ponsel pintar, dan media sosial.
(4). Laki-laki heteroseksual yang sering melakukan hubungan seksual dengan waria dengan kondisi waria tidak memakai kondom. Studi di Surabaya (1990-an) menunjukkan laki-laki heteroseksual jadi 'perempuan' yang dianal (disebut ditempong) oleh waria yang berperan sebagai 'laki-laki' (disebut menempong). Kondisi ini membuat laki-laki heteroseksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Laki-laki ini jadi jembatan penyebaran HIV dari kominitas waria ke masyarakat. Yang punya istri akan menularkan HIV ke istrinya, jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI;
(5). Laki-laki biseksual (heteroseksual dan homoseksual) yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah, denan PSK langsung, dengan PSK tidak langsung, dengan gay dan dengan waria. Laki-laki biseksual jadi jembatan penyebaran HIV dari kominitas PSK, gay dan waria ke masyarakat. Yang punya istri akan menularkan HIV ke istrinya, jika istrinya tertular maka ada pula risiko penularan vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama pada saat persalinan dan menyusui dengan ASI.
Yang diperlukan adalah langkah yang konkret untuk mengatasi perilaku-perilaku di atas agar insiden infeksi HIV baru bisa dikurangi, sekali lagi hanya bisa dikurangi karena mustahil menghentikan insiden infeksi HIV baru (zero new infection). Tidak mungkin Pemkot Kota Bogor bisa mengawasi perilaku seksual semua warga dewasa.
Dengan sosialisasi adalah mustahil menghentikan warga Kota Bogor melakukan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS karena memerlukan waktu yang lama untuk mengubah perilaku. Selain itu informasi tentang HIV/AIDS pun sering pula dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
[Baca juga: Tertular HIV karena Termakan Mitos "Cewek Bukan PSK"]
Misalnya, informas HIV/AIDS yang selalu mengaitkan penularan HIV dengan hubungan seksual di luar nikah, seperti melacur, zina, 'seks bebas', dll. Ini mitos karena penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual (bisa) terjadi  di dalam dan di luar nika (sifat hubungan seksual) kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidakpakai kondom setiap kali lakukan seks (kondisi hubungan seksual).
Untuk itu diperlukan intervensi terhadap perilaku berisiko di atas yaitu menerapkan program advokasi agar laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual berisiko. Tapi, secara faktual yang perilaku nomor 3 b. Tapi, ini juga hanya bisa dilakukan jika praktek PSK langsung dilokalisir. Sedangkan perilaku yang lain, yaitu nomor 1, 2, 3 a, 4 dan 5 tidak bisa diintervensi.
Maka, insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi terhadap warga Bogor yang melakukan perilaku-perilaku berisiko di atas. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS terus-menerus terjadi bagaikan 'bom waktu' yang kelak bermuara pada 'ledakan AIDS'. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H