Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Hari Gini" Masih Ada Netizen Sebut ODHA Dikarantina

23 Oktober 2018   21:03 Diperbarui: 24 Oktober 2018   10:26 646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Relawan Palang Merah China pada acara kesadaran AIDS di Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2009 di stasiun kereta api selatan Beijing, untuk menyerukan dukungan pemerintah yang lebih baik untuk pengidap HIV/AIDS di China. (Sumber: theepochtimes.com/ AFP/Getty Images)

Tanggapan terhadap berita Idap HIV, Tiga Anak di Samosir Dilarang Sekolah dan Terancam Terusir (VOA Indonesia, 21/10-2018) menunjukkan tingkat pemahaman penanggap terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

[Baca juga: AIDS di Samosir, 3 Anak-anak Pengidap HIV/AIDS Terancam Diusir]

Coba simak ini: Seorang netizen dengan akun bernama Kristian Horison Pandumpi yang menulis bahwa anak-anak tersebut harus "dikarantina dengan tepat". (voaindonesia.com, 23/10-2018).

Kristian rupanya lupa kalau di masyarakat ada warga yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Nah, ini bagaimana Kristian?

Justru orang-orang yang diketahui status HIV-nya jauh lebih baik karena kita bisa menghindari perilaku-perilaku yang berisiko tertular HIV dengan mereka. Sebaliknya, kita tidak menyadari bahwa pasangan kita ternyata pengidap HIV/AIDS.

Seperti yang dialami seorang guru agama di Sumut ini. Dia heran mengapa anak keduanya lahir dengan HIV/AIDS? Tentu saja sebagai guru agama dia tidak pernah melakukan seks yang berisiko terjadi penularan HIV/AIDS. Ternyata HIV/AIDS pada anak keduanya berasal dari istri kedua.

[Baca juga: Guru Agama Ini Kebingungan Anak Keduanya Lahir dengan AIDS]

Lagi pula kalau setiap warga yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS kemudian dikarantina tentulah jadi masalah baru untuk menyiapkan karantina. Kalau seorang suami dikarantina, siapa yang mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya?

Jika dikarantina tentulah biaya hidup pengidap HIV/AIDS harus ditanggung pemerintah, sedangkan manfaatnya tidak ada.

Pemilik akun MrPunk yang menekankan yang dialami tiga bocah (3 anak-anak pengidap HIV/AIDS di Samosir, Sumut-pen.) itu adalah pertanda betapa pentingnya edukasi tentang HIV/AIDS, "agar tidak salah paham". (voaindonesia.com, 23/10-2018).

MrPunk benar. Seperti pernyataan nitizen Kristian di atas menunjukkan pemahaman dia terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis ada di titik nadir.

HIV adalah virus yang dalam jumlah yang bisa ditularkan ke orang lain hanya ada di darah, air mani, cairan vagina dan air susi ibu (ASI). Sedangkan AIDS adalah terminologi yang menunjukkan kondisi orang-orang yang mengidap HIV setelah tertular 5-15 tahun yang ditandai dengan berbagai penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. yang sangat sulit disebuhkan.

Nah, untuk apa mereka dikarantina, Kristian?

Penularan melalui darah bisa terjadi melalui transfusi darah yang tidak diskirining HIV. Jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergantian pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) jika salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS. Nah, ketiga anak-anak itu bukan donor darah dan tidak ada transfusi dan penyalahguna narkoba di sekolah mereka.

Penularan melalui air mani dan cairan vagina terjadi melalui hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, anal dan oral) tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Tentu saja tidak akan pernah ada hubungan seksual antara tiga anak pengidap HIV/AIDS tsb. dengan murid lain atau dengan guru dan karyawan di ruang kelas atau pekerangan sekolah.

Sedangkan penularan melalui ASI tentu saja tidak mungkin karena dari 3 bocah pengidap HIV/AIDS tsb. hanya satu perempuan yang masih kecil dan tidak mungkin ada proses menyusui dengan teman-teman sekelasnya atau dengan guru di ruang kelas atau di pekerangan sekolah.

Apakah dengan penjelasan ini nitizen Kristian masih bertahan pada pendapat sendiri bahwa ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) tetap harus dikarantina?

Cobalah berpikir dengan jernih karena karantina tidak menyelesaikan masalah HIV/AIDS karena di masyarakat banyak orang yang tidak terdeteksi mengidap HIV/AIDS jadi mata rantai penyebar HIV/AIDS. Maka, yang perlu dilakukan adalah mendeteksi warga pengidap HIV/AIDS untuk memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS.

Ada pula nitizen yang 'menyerang' pernyataan MrPunk yaitu, Maindrat Rthee Manullang, yang membalas, "edukasi bagaimana lagi? itu penyakit (HIV) menular, jadi wajar mereka khawatir." (voaindonesia.com, 23/10-2018).

HIV bukan penyakit tapi virus yang memang menular tapi dengan cara-cara yang sangat spesifik yang bukan merupakan pergaulan sosial sehari-hari. Kalau saja Maindrat membahami HIV/AIDS sebagai fakta medis tentulah tidak perlu 'menyerang' MrPunk karena yang disebutkan MrPunk merupakan fakta.

Buktinya, Saudara dan Kristian jelas tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Yang lebih celaka, Bupati Samosir dan Wakil Bupati Samosir pun tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Buktinya, mereka sampai pada kesimpulan yang tidak akurat yaitu mengatakan tiga bocah AIDS itu menjalani home schooling dan 'dibuang' ke hutan.

Kita tinggal menunggu kasus-kasus lain: Apakah kelak kalau ada anak-anak warga Samosir yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS harus menjalani home schooling atau 'dibuang' ke hutan.

[Baca juga: AIDS di Samosir, Anak-anak Home Schooling, Orang Dewasa?]

Yang paling seru adalah kalau yang terdeteksi HIV/AIDS warga Samosir yang dewasa, apa gerangan 'hukuman' yang akan diberikan Pak Bupati dan Pak Wakil Bupati?

Kalau laki-laki dewasa bagaimana hukumannya? Kalau perempuan dewasa bagaimana pula hukumannya? Jika kemudian mengikuti Kristian, maka seorang laki-laki dewasa pengidap HIV/AIDS yang mempunyai istri dan anak akan dikarantina. Siapa yang cari nafkah dan mengurus istri serta anak-anaknya?

Kalau seorang ibu rumah tangga dikarantina, siapa yang mengurus suami dan anak-anaknya?

Inilah salah satu dampak buruk sosialisasi HIV/AIDS yang tidak komprehensif. Pertama, sosialisasi tidak dilakukan secara luas dan konsisten. Kedua, informasi HIV/AIDS pun selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.

Pilihan ada di tangan kita: memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis atau mitos? Kalau pilihannya kemudian adalah mitos, maka kita tinggal menunggu waktu saja untuk 'panen (kasus) AIDS'. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun