Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Pekerja Anak

9 Maret 2018   10:54 Diperbarui: 9 Maret 2018   11:02 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika berpatokan pada DKI Jakarta yang menanggung biaya sekolah, memang tidak ada anak-anak yang putus sekolah. Tapi, tidak semua daerah yang menanggung biaya sekolah warganya sehingga beban biaya sekolah ditanggung orang tua.

Ini salah satu awal petaka. Kebutuhan anak-anak sekolah sangat besar. Pakaian misalnya, setiap hari berbeda: pakaian upacara, pramuka, olahraga dan agama. Dulu, ketika Mendikbud dipegang oleh alm Prof Dr Fuad Hassan (1985-1993), beliau mengatakan bahwa pakaian dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di ruang kelas. Artinya, telanjang dada dan kaki ayam pun tidak jadi penghalang bagi anak-anak untuk belajar.

Nah, kalau saja tidak ada kewajiban jenis pakaian yang berbeda setiap hari orang tua cukup membeli dua stel pakaian Lebaran yang akan jadi pakaian selama setahun di sekolah. Tapi, sekarang orang tua harus membeli minimal 5 stel pakaian dan sepatu.

Kalau hanya mengandalkan pekerjaan di desa, misalnya sebagai petani gurem, tentulah mustahil memenuhi kebutuhan anak untuk bersekolah. Itu baru urusan pakaian, belum jajan dan ongkos serta uang sekolah.

Indonesia disebut-sebut akan bebas pekerja anak pada tahun 2022 melalui program 'Zona Bebas Pekerja Anak' di kawasan industri di seluruh Indonesia. Langkah Indonesia ini sejalan dengan Konvensi ILO No 138 Tahun 1973 tentang batas umur minimum pekerja anak yang diratifikasi Indonesia.

Tapi, tunggu dulu. Apakah semudah membalik telapak tangan?

Dengan kondisi anak-anak tidak bekerja dan orang tua pun tidak punya pekerjaan tetap, formal atau informal, apakah mungkin program itu berjalan?

Dengan penghentian pekerja anak dampak sosial dan ekonomi akan menerpa keluarga-keluarga migran yang tidak punya lahan di kampung. Mereka adalah orang-orang yang tercerabut dari kehidupan di desa karena ketiadaan lahan pertanian.

Maka, pemerintah perlu melakukan intervensi agar perusahaan tidak hanya menerima karyawan lajang. Kalau pakai akal sehat justru yang sudah berkeluarga yang diutamakan karena membutuhkan biaya untuk istri, suami dan anak-anaknya.

Persoalan yang dihadapi perusahaan kalau menerima karyawan yang mempunyai istri dan anak adalah menyangkut upah karena selain upah si karyawan juga ada kewajiban perusahaan untuk membayar berbagai macam tunjangan untuk suami, istri dan anak.

Kalau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hanya bertindak sebatas normatif regulasi, maka itu bagaikan 'pemadam kebakaran'. Masalah pekerja anak tidak akan pernah selesai selama usia dan status perkawinan jadi syarat bekerja. Jika KPAI kemudian memakai kekuasaan untuk menghentikan pekerja anak tentu dampaknya akan jadi beban pemerintah juga pada akhirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun