Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fenomena Pekerja Anak

9 Maret 2018   10:54 Diperbarui: 9 Maret 2018   11:02 1455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: edunews.id)

Silang pendapat tentang pekerja anak seakan tak pernah berujung. Di awal tahun 1990-an ada teman yang membuka kantor di wilayah Tangerang yang bergerak dalam upaya menghentikan pekerja anak.

Apa yang terjadi kemudian?

Mereka malah diusir karena dianggap menghalang-halangi orang tua yang akan mempekerjakan anak-anaknya di pabrik yang menjamur di kawasan itu. Soalnya, pabrik mulai takut dan menolak anak-anak yang melamar atau dibawa orang tuanya karena advokasi larangan pekerja anak yang gencar.

Apa sebenarnya yang terjadi?

Orang tua anak-anak itu bukan tidak mau bekerja, tapi banyak faktor yang menghambat mereka untuk bekerja di sektor formal, khususnya di pabrik. Paling tidak ada tiga faktor di belakang fenomena pekerja anak di Indonesia.

Pertama, usia. Perusahaan umumnya menerima calon karyawan berumur di bawah 25 tahun. Nah, banyak orang tua yang migrasi ke kota setelah berumur lebih dari 25 tahun.

Kedua, status perkawinan. Perusahaan juga menyaratkan calon karyawan yang belum berkeluarga alias lajang. Itu laki-laki dan perempuan yang sudah menikah dan punya anak tidak akan bisa melamar pekerjaan formal di perusahaan atau pabrik.

Ketiga, pendidikan. Banyak migran yang datang ke kota dengan bekal pendidikan yang rendah, bahkan ada yang tidak tamat SD. Ini semua terjadi karena lingkaran kemiskinan di desa. Orang tua mereka tidak bisa menyekolahkan mereka, begitu seterusnya. Alokasi anggaran sebesar 20 persen di APBD untuk pendidikan hanya sebatas wacana di tengah-tengah suap dan korupsi yang merajalela di banyak daerah.

Pada akhirnya bak buah simalakama. Jika anak-anak tidak bekerja keluarga akan menghadapi kesulitan hidup. Mereka migrasi ke kota-kota besar karena di desa nyaris tidak ada lagi kerja. Lahan sawah dan ladang beralihfungsi jadi permukiman, industri, dll. Sebagian lagi milik 'petani berdasi' sehingga lahan dibiarkan jadi 'lahan tidur'.

Pekerjaan informal di kota-kota besar terbuka luas, mulai dari jualan minuman dan makanan, buruh lepas, dll. Tapi, tentu tidak semua orang bisa bekerja di sektor informal sehingga mereka melirik pabrik sebagai tujuan kerja.

Jumlah anak-anak, berumur di bawah 17 tahun, yang bekerja di berbagai sektor di Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta (poskotanews, 13/6-2017). Anak-anak ini tentulah kehilangan hak belajar. Ada juga di antara mereka yang putus sekolah di tingkat SD, SMP atau SMA/SMK.

Jika berpatokan pada DKI Jakarta yang menanggung biaya sekolah, memang tidak ada anak-anak yang putus sekolah. Tapi, tidak semua daerah yang menanggung biaya sekolah warganya sehingga beban biaya sekolah ditanggung orang tua.

Ini salah satu awal petaka. Kebutuhan anak-anak sekolah sangat besar. Pakaian misalnya, setiap hari berbeda: pakaian upacara, pramuka, olahraga dan agama. Dulu, ketika Mendikbud dipegang oleh alm Prof Dr Fuad Hassan (1985-1993), beliau mengatakan bahwa pakaian dan sepatu bukan bagian dari proses belajar di ruang kelas. Artinya, telanjang dada dan kaki ayam pun tidak jadi penghalang bagi anak-anak untuk belajar.

Nah, kalau saja tidak ada kewajiban jenis pakaian yang berbeda setiap hari orang tua cukup membeli dua stel pakaian Lebaran yang akan jadi pakaian selama setahun di sekolah. Tapi, sekarang orang tua harus membeli minimal 5 stel pakaian dan sepatu.

Kalau hanya mengandalkan pekerjaan di desa, misalnya sebagai petani gurem, tentulah mustahil memenuhi kebutuhan anak untuk bersekolah. Itu baru urusan pakaian, belum jajan dan ongkos serta uang sekolah.

Indonesia disebut-sebut akan bebas pekerja anak pada tahun 2022 melalui program 'Zona Bebas Pekerja Anak' di kawasan industri di seluruh Indonesia. Langkah Indonesia ini sejalan dengan Konvensi ILO No 138 Tahun 1973 tentang batas umur minimum pekerja anak yang diratifikasi Indonesia.

Tapi, tunggu dulu. Apakah semudah membalik telapak tangan?

Dengan kondisi anak-anak tidak bekerja dan orang tua pun tidak punya pekerjaan tetap, formal atau informal, apakah mungkin program itu berjalan?

Dengan penghentian pekerja anak dampak sosial dan ekonomi akan menerpa keluarga-keluarga migran yang tidak punya lahan di kampung. Mereka adalah orang-orang yang tercerabut dari kehidupan di desa karena ketiadaan lahan pertanian.

Maka, pemerintah perlu melakukan intervensi agar perusahaan tidak hanya menerima karyawan lajang. Kalau pakai akal sehat justru yang sudah berkeluarga yang diutamakan karena membutuhkan biaya untuk istri, suami dan anak-anaknya.

Persoalan yang dihadapi perusahaan kalau menerima karyawan yang mempunyai istri dan anak adalah menyangkut upah karena selain upah si karyawan juga ada kewajiban perusahaan untuk membayar berbagai macam tunjangan untuk suami, istri dan anak.

Kalau Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hanya bertindak sebatas normatif regulasi, maka itu bagaikan 'pemadam kebakaran'. Masalah pekerja anak tidak akan pernah selesai selama usia dan status perkawinan jadi syarat bekerja. Jika KPAI kemudian memakai kekuasaan untuk menghentikan pekerja anak tentu dampaknya akan jadi beban pemerintah juga pada akhirnya.

Maka, dalam kaitan ini pemerintah, organisasi buruh dan perusahaan didorong untuk membuat rumusan yang saling menguntungkan agar pembayaran tunjangan bagi karyawan yang berkeluarga tidak memberatkan perusahaan.

Ini salah satu upaya nyata untuk menghapus pekerja anak agar hak dasar anak-anak untuk belajar tidak dirampas oleh orang tua hanya karena kemiskinan. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun