Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Penyangkalan dan Pengetahuan yang Tidak Akurat Penyebab Tertular HIV/AIDS

25 Oktober 2017   10:03 Diperbarui: 25 Oktober 2017   10:19 1509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Time Magazine)

Kalangan ahli sampai pada kesimpulan bahwa penyangkalan (denial) seseorang mengapa dia tertular HIV terkait dengan perilaku seksual dirinya atau pasangannya dan pengetahuan yang tidak akurat terkait dengan pengertian HIV dan AIDS serta cara-cara penularan dan pencegahannya merupakan faktor utama yang menyebabkan seseorang tertular HIV.

Sampai tanggal 31 Maret 2017 laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI tanggal 24 Mei 2017 menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia mencapai 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS. Estimasi ahli-ahli epidemiologi menyebutkan kasus HIV/AIDS di Indonesia 600.000. Maka,  baru separuh yang terdeteksi, yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Memang, pada kasus ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya tentu buka karena perilaku seksual mereka, tapi perilaku seksual suami-suami mereka yang tidak memahami HIV dan AIDS secara benar atau karena termakan mitos (anggapan yang salah) tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV.

Pejabat dan tokoh agama di salah satu daerah di Indonesia selalu menolak dan menyangkal bahwa perilaku seksual sebagian penduduk yang jadi penyebab epidemi HIV di daerah itu dengan menyalahkan pihak lain (pekerja seks komersial/PSK dari luar daerah) dan mengusung genosida sebagai orasi moral.

Fakta Medis

HIV yaitu virus penyebab kerusakan sistem kekebalan tubuh (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS yakni sindroma kerusakan sistem kekebalan tubuh dapatan karena sistem kekebalan tubuh dirusak oleh HIV yang ditandai dengan berbagai jenis penyakit (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV dan AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diteliti di laboratorium dengan teknologi kedokteran.

Maka, cara-cara penularan dan pencegahan HIV pun bisa diketahui secara medis yaitu mencegah agar cairan-cairan tubuh yang mengandung HIV tidak masuk ke tubuh kita.

Cairan-cairan yang mengandung HIV dalam jumlah yang bisa ditularkan adalah (1) darah, (2) air mani, (3) cairan vagina, dan (4) air susu ibu (ASI),

Sedangkan cara-cara penularan adalah (a) darah yang mengandung HIV melalui transfusi darah, jarum suntik, terpapar ke permukaan kulit yang ada perlukaan, dan peralatan yang bisa menyimpan darah, (b) melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV pada hubungan seksual (seks vaginal, seks anal dan seks oral) di dalam nikah dan di luar nikah, (c) melalui ASI yang mengandung HIV pada proses menyusui.

Jika disimak cara-cara penularan HIV di atas, maka risiko penularan HIV sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan orientasi seksual yang dikenal yaitu heteroseksual (laki-laki tertarik secara seksual ke perempuan dan sebaliknya), homoseksual (secara seksual laki-laki tertarik ke laki-laki atau perempuan tertarik secara seksual ke perempuan), dan biseksual (laki-laki tertarik secara seksual ke perempuan dan ke laki-laki).

Maka, pernyataan yang menyebutkan "secara ilmiah dirumuskan  bahwa seks di kalangan gay berisiko lebih tinggi mendapatkan HIV daripada bukan gay' tidak akurat. Bukan 'mendapatkan HIV' tapi tertular HIV. Risiko penularan HIV disebut tinggi pada gay karena seks anal. Pada suami-istri yang melakukan seks anal sebagai variasi pun risiko penularan HIV sangat tinggi seperti gay kalau (a) salah satu idap AIDS dan (b) suami tidak pakai kondom

Pemahaman yang tidak akurat terhadap cara-cara penularan HIV bisa disimak dari jawaban pertanyaan ini. Setiap pelatihan jurnalisme AIDS salah satu pertanyaan yang penulis lontarkan adalah: Jika sepasang gay melakukan seks anal tanpa kondom dengan kondisi dua-duanya HIV-negatif (tidak mengidap HIV), apakah ada risiko penularan HIV?

Hampir 100 persen peserta selalu menjawab: Ada!

Ini yang membuat celaka karena mereka menyimpulkan bahwa penularan HIV karena gay melakukan hubngan seks anal. Padahal, ada risiko penularan HIV pada gay yang melakukan seks anal kalau salah atu atau kedua-dua pasangan gay itu mengidap HIV dan yang menganal tidak pakai kondom.

Nikah di Pelacuran

Begitu juga dengan pertanyaan ini: Jika sepasang remaja melalukan hubungan seksual pranikah, apakah ada risiko penularan HIV?

Lagi-lagi hampir semua peserta menjawab: Ada!

Pemahamhan yang salah dan mitos itu terjadi karena sejak awal epidemi HIV di Indonesia, dan bebarapa negara di dunia, penularan HIV selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral adn agama. Misalnya, disebutkan penularan HIV karena zina, melacur, selingkuh, seks anal, seks oral, dll.

Yang paling menyesatkan adalah informasi yang menyebutkan HIV berkembang biak di lokalisasi pelacuran. Padahal, secara empiris yang menularkan HIV ke PSK langsung (PSK yang kasat mata) di lokalisasi pelacuran adalah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan PSK. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV ke PSK bisa sebagai remaja, lajang, duda atau suami sehingga mereka ini selain menularkan ke PSK yang beristri menularkan ke istrinya secara horizontal. Kalau istrinya tertular HIV, maka ada risiko penularan (vertikal) ke bayi yang dikandungnya.

Selanjutnya ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK yang mengidap HIV karena melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa memakai kondom. Laki-laki yang kemudian tertular HIV dari PSK aalam kehidupan sehari-hari  bisa sebagai remaja, lajang, duda atau suami. Mereka ini selain menularkan ke PSK bagi yang beristri akan menularkan HIV ke istrinya secara horizontal. Kalau istrinya tertular HIV, maka ada risiko penularan (vertikal) ke bayi yang dikandungnya.

Di awal tahun 1990-an ada satu organisasi mahasiswa yang memakai agama mengusulkan agar di lokalisasi pelacuran dilakukan nikah mut'ah bagi pasangan yang mau melakukan hubungan seksual agar tidak terjadi penularan HIV. Ini jelas menyesatkan karena penularan HIV bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, pranikah, dll.), tapi karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak pakai kondom).

Karena mitos PSK di lokalisasi tadi, maka banyak laki-laki 'hidung belang' yang merasa tidak berisiko tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seksual dengan cewek atau perempuan yang bukan PSK dan tidak pula di lokalisasi pelacuran.

Bukan PSK

Mereka lupa kalau cewek atau perempuan yang disebut sebagai PSK tidak langsung itu juga melakukan perilaku berisiko yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa pakai kondom. Nah, PSK tidak langsung, seperti cewek pemijat, cewek kampus, anak sekolah, ibu-ibu, dll. risiko tertular HIV juga sama dengan PSK langsung di lokalisasi pelacuran.

Awal tahun 2000-an ada seroang pejabat teras di sebuah kabupaten di Indonesia bagian timur yang mengirim surat ke penulis dengan mengatakan bahwa dia merasa tidak berisiko terulatr HIV karena dia melalukan hubungan seksal dengan cewek cantik, pintar, dan kaya di hotel berbintang di wilayahnya atau ketika dinas ke Pulau Jawa. Waktu itu penulis anjurkan agar pejabat itu tes HIV, tapi dia menolak dengan alasan tadi. Belakangan saya dengar kabar dari seorang teman yang jadi pendampingnya kondisi kesehatannya terus turun dan penyakitnya tidak pernah diungkapkan ke keluarga dan instansi tampat dia bekerja.

Kalau saja pejabat tadi menjalani tes HIV sesuai anjuran, tentulah kondisinya tidak parah karena kalau waktu itu terdeteksi HIV positif akan dilanjutkan dengan tes CD4 untuk menentukan langkah penangangan. Jika CD4 di bawah 350  maka akan diberikan obat antiretroviral (ARV).

Obat ini bukan menyembuhkan HIV atau AIDS, tapi menghambat penggandaan HIV di dalam darah. Ketika HIV masuk ke tubuh seseorang, maka HIV akan menggandakan diri di sel-sel darah putih (ini sel kekebalan tubuh) dengan jumlah miliran setiap hari. Sel-sel darah putih yang dijadikan HIB sebagai 'pabrik' rusak. Celakanya, HIV yang baru diproduksi akan menggandakan diri pula dengan memakai sel darah putih sebagai 'pabrik'.

Ketika sel darah putih dalam tubuh seseorang yang mengidap HIV banyak yang rusak sampailah pada masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) yang ditandai dengan penyakit yang mudah masuk yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, dll. Penyakit mudah masuk karena sistem kekebalan tubuh yang rendah yaitu ketika sel darah putih banyak yang rusak.

Maka, orang-orang yang termakan mitos dan mengait-ngaitkan norma, moral dan agama dengan HIV/AIDS akan berada pada situasi yang berisiko tinggi tertular HIV (dari berbagai sumber). *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun