Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tajudin, Penjual Cobek di Tangsel yang Jadi Korban Tuduhan Eksploitasi Anak

19 Januari 2017   14:07 Diperbarui: 20 Januari 2017   09:58 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di beberapa negara Eropa Barat, Australia dan Amerika paradigma keluarga adalah setelah lulus perguruan tinggi menikah. Membesarkan anak baru bekerja. Nah, di Indonesia dibalik. Sudah berumur baru menikah karena ada ikatan dinas dan ketentuan di perusahaan yang tidak boleh menikah sekian tahun.

Di Indonesia cuti hamil dan bersalin hanya diberikan waktu sedikit untuk mengurus dan membesarkan anak. Kemenpan-RB: Pemberian Cuti Bersalin Tak Boleh Lebih 3 Bulan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menegaskan, pemberian cuti bersalin tidak boleh melebihi dari waktu 3 bulan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil (PNS) [news.liputan6.com, 31/8-2016].

Sementara itu Pemerintah Aceh punya kebijakan sendiri yaitu Peraturan Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang dimaksud Yenni adalah yang ditandatangani tanggal 12 Agustus 2016 lalu tentang Pemberian Air Susu Eksklusif, dengan cuti melahirkan selama enam bulan untuk pegawai negeri sipil, tenaga kontrak dan yang bekerja di jajaran Pemerintah Aceh (bbc.com, 4/10-2016). Sedangkan di beberapa negara maju cuti hamil dan melahirkan antara enam bulan sampai dua tahun dengan tunjangan dan gaji tetap 100 persen.

Pertanyaan lain, mengapa Tajudin tidak menerima bantuan pemerintah yaitu KKS (Kartu Keluarga Sejahtera)? Tentu saja Pemkab Bandung Barat harus bertanggung jawab karena Tajudin terpaksa mencari nafkah dengan membawa dua anak karena hak mereka sebagai keluarga miskin tidak dipenuhi melalui bantuan pemerintah yang merupakan hak mereka.

Kisah Tajudin ini bisa jadi cermin bagi polisi, jaksa, hakim dan pemerintah daerah serta perusahaan agar lebih peka dalam memahami realitas sosial yang merupakan bagian dari kewajiban dan hak (bagi) rakyat. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun