* Menggugat status belum menikah sebagai syarat melamar pekerjaan....
Malang benar nasib Tajudin bin Tantang Rusmana, 42 tahun, warga Padalarang, Jawa Barat, yang berjual cobek (alat menggiling atau mengulek yang terbuat dari batu kali) di sekitar Jalan Raya Perum Graha Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten. Dalam dakwaan jaksa berdasarkan BAP Polres Tangsel Tajudin didakwa mengeksploitasi anaknya, Cepi Nurjaman (14) dan Dendi Darmawan (13).
Jaksa menjerat Tajudin dengan Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal 64 ayat 1 maka ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp 120 juta dengan subsider 1 bulan penjara. Tapi, jaksa menuntut Tajudin tiga tahun penjara. Dengan tuntutan ini Tajudin harus mendekam di Rutan Kelas I Tangerang, Banten. Tidak tanggung-tanggung Tajudin mendekam selama sembilan bulan sebagai tahanan di rutan itu, sampai akhirnya hakim di PN Tangerang membebaskan Tajudin dari dakwaan jaksa.
Penjelasan Kuasa hukum Tajudin, Hamim Jauzie (LBH Keadilan Tangerang) yang dihubungi penulis melalui telepon, mengatakan kisah pilu Tajudin berawal ketika polisi dari Polres Tangsel razia preman. Polisi melihat Cepi dan Dendi berjualan cobek di sekitar Perum BSD Serpong dan Perum Villa Melati Mas Kota Tangerang Selatan. Ketika itu, menurut Hamim, Tajudin pulang ke rumah sehingga meninggalkan anaknya untuk menjaga dagangannya. Belakangan polisi menangkap Tajudin (20/4-2016) sekitar pukul 22.00 WIB di Jalan Raya Perum Graha Raya Bintaro, Kota Tangerang Selatan, berdasarkan pemeriksaan terhadap Cepi dan Dendi.
Tajudin dan dua anaknya sudah lama jualan cobek di sana, tapi hari itu rupanya dia sedang apes. Hamim tidak bisa menjelaskan mengapa hanya Cepi dan Dendi yang ditangkap polisi ketika razia. Kemudian polisi menangkap Tajudin sebagai orang tua anak-anak itu dengan tuduhan eksploitasi anak.
Pertanyaan yang sangat mendasar: Apakah di Tangsel hanya Tajudin yang memperkerjakan anak-anaknya?
Itulah sebabnya Hamim meragukan tuduhan jaksa karena tidak ada bukti kalau Cepi dan Dendi merupakan korban perdangan anak dan diekesploitasi oleh Tajudin. Pembelaan Hamim ini dikabulkan hakim yang membebaskan Tajudin dari semua tuduhan jaksa. Dalam vonis hakim mengatakan, "Jaksa menganggap apa yang dilakukan Terdakwa itu hal sepele atau ringan. 3 tahun itu pidana minimum dari maksimal 15 tahun. Jaksa ragu-ragu karena tidak mungkin menuntut bebas, jadi terpaksa menuntut dengan ancaman minimum. Kalau kami tetap berpendapat apa yang dilakukan terdakwa tidak memenuhi unsur pidana," ujar Hakim usai persidangan tanggal 15 Desember 2016 (detiknews, 15/12-2016).
Biar pun sudah divonis bebas tanggal 12 Januari 2017, ternyata Tajudin belum bisa menghirup udara bebas karena berbagai alasan. Tajudin baru bisa keluar dari Rutan pada hari Sabtu tanggal 14 Januari 2017 pukul 13.28 WIB. "Melepaskan terdakwa dari dakwaan. Secara sosiologis, anak-anak sudah biasa membantu orang tuanya," ucap majelis hakim dengan suara bulat (detiknews, 14/1-2017).
Kisah pilu Tajudin ini membuktikan di banyak daerah tidak ada bantuan untuk biaya pendidikan sehingga Tajudin pun terpaksa membawa dua anaknya ke Tangsel untuk berjualan cobek. Berbeda dengan DKI Jakarta berkat kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat yang memberikan bantuan sekolah melalui KJP (Kartu Jakarta Pintar) yang digagas oleh Gubernur Jokowi (ketika itu) dan Wagub Ahok.
Selain itu patut juga digugat persyaratan penerimaan karyawan di banyak perusahaan yang menjadikan ‘belum menikah’ sebagai syarat utama. Orang seperti Tajudin tentulah tidak akan mempunyai kesempatan bekerja formal di pabrik karena dia sudah punya anak.
Jika kita memakai nalar, maka yang diutamakan bekerja adalah orang-orang yang sudah berkeluarga dan punya anak karena butuh biaya hidup sehari-hari, pendidikan, kesehatan, dll. Dalam kaitan ini agaknya polisi dan jaksa tidak memahami kesulitan yang dialami Tajudin. Lagi pula, seperti dijelaskan hakim pada sidang putusan secara sosiologis anak-anak menjadi bagian dari roda kehidupan keluarga, al. membantu orang tua bekerja atau bekerja sendiri.
Di beberapa negara Eropa Barat, Australia dan Amerika paradigma keluarga adalah setelah lulus perguruan tinggi menikah. Membesarkan anak baru bekerja. Nah, di Indonesia dibalik. Sudah berumur baru menikah karena ada ikatan dinas dan ketentuan di perusahaan yang tidak boleh menikah sekian tahun.
Di Indonesia cuti hamil dan bersalin hanya diberikan waktu sedikit untuk mengurus dan membesarkan anak. Kemenpan-RB: Pemberian Cuti Bersalin Tak Boleh Lebih 3 Bulan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) menegaskan, pemberian cuti bersalin tidak boleh melebihi dari waktu 3 bulan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil (PNS) [news.liputan6.com, 31/8-2016].
Sementara itu Pemerintah Aceh punya kebijakan sendiri yaitu Peraturan Gubernur Aceh Zaini Abdullah yang dimaksud Yenni adalah yang ditandatangani tanggal 12 Agustus 2016 lalu tentang Pemberian Air Susu Eksklusif, dengan cuti melahirkan selama enam bulan untuk pegawai negeri sipil, tenaga kontrak dan yang bekerja di jajaran Pemerintah Aceh (bbc.com, 4/10-2016). Sedangkan di beberapa negara maju cuti hamil dan melahirkan antara enam bulan sampai dua tahun dengan tunjangan dan gaji tetap 100 persen.
Pertanyaan lain, mengapa Tajudin tidak menerima bantuan pemerintah yaitu KKS (Kartu Keluarga Sejahtera)? Tentu saja Pemkab Bandung Barat harus bertanggung jawab karena Tajudin terpaksa mencari nafkah dengan membawa dua anak karena hak mereka sebagai keluarga miskin tidak dipenuhi melalui bantuan pemerintah yang merupakan hak mereka.
Kisah Tajudin ini bisa jadi cermin bagi polisi, jaksa, hakim dan pemerintah daerah serta perusahaan agar lebih peka dalam memahami realitas sosial yang merupakan bagian dari kewajiban dan hak (bagi) rakyat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H