Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 20/11-2016 menunjukkan sampai September 2016 dari 16.432 kasus AIDS di Jawa Timur (Jatim) yang meninggal dunia tercatat 3.679. Ini berarti 22,39 persen. Kematian terkait AIDS secara nasional 10.132. Kematian terkait AIDS di Jatim 36,31 persen secara nasional. Fakta ini menunjukkan upaya mengurangi kesakitan yang bisa menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS di Jatim sangat rendah. Bisa juga pengidap HIV/AIDS terdeteksi setelah mengidap penyakit-penyakit infeksi oportunistik, seperti TB, diare, dll.
Apa pun latar belakang kematian pengidap HIV/AIDS itu yang jelas ada persoalan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS di Jatim. Kasus kumulatin HIV/AIDS sendiri di Jatim dilaporkan 45.411 yang terdiri atas 28.979 HIV dan 16.432 AIDS. Kasus secara nasional mencapai 302.004 terdiri atas 219.036 HIV dan 82.968 AIDS. Jumlah ini menempatkan Jatim pada peringkat kedua jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional.
PSK Tidak Langsung
Penularan dan penyebaran HIV/AIDS yang dominan adalah melalui hubungan seksual yaitu hubungan seksual berisiko:
(1) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu di antara perempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(2) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(3) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan perempuan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara prempuan tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(4) Perempuan yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan yang sah dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu di antara laki-laki tsb. juga punya pasangan seks yang lain dengan perilaku seksual yang berisiko.
(5) Laki-laki yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan waria. PSK dikenal ada dua tipe, yaitu:
(a) PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.
(b) PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat plus-plus, ‘artis’, ‘spg’, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, ibu-ibu rumah tangga, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), dll.
Perilaku nomor 1, 2, 3, 4, dan 5 b sama sekali tidak bisa dikontrol secara langsung oleh pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) karena terjadi antar orang per orang pada sembarang waktu dan sembarang tempat.
Wajib Kondom
Yang bisa diintervensi oleh pemerintah adalah perilaku berisiko nomor 5 a, tapi itu hanya bisa dilakukan jika praktek pelacuran dilokalisir sehingga bisa dijalankan program ‘wajib kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung’. Celakanya, sejak reformasi ada euforia menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran. Itu artinya praktek pelacuaran dan transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai cara.
Ketika Thailand berhasil menurunkan insiden (penularan) infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung melalui program yang dikenal sebagai “wajib kondom 100 persen”, Indonesia pun ramai-ramai ‘mencangkok’ program itu melalui peraturan daerah (Perda). Masalahnya adalah program “wajib kondom 100 persen” di Thailand adalah ‘ekor’ program dari lima program penanggulangan AIDS berskala nasional. Itu artinya Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS Thailand. Lebih celaka lagi program “wajib kondom 100 persen” di perda-perda AIDS tidak diimplementasikan secara konkret (Lihat: Syaiful W. Harahap - Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand).
Sedangkan pada dua perda (Kab Malang dan Kab Tulungagung) cara yang disampaikan yaitu “Pakai kondom pada hubungan seksual berisiko” jelas hanya orasi moral karena tidak ada mekanisme yang bisa mengawasi hal tsb.
Bagaimana Pemkab Malang, Pemkab Semarang dan Pemkab Tulungagung mengawasi laki-laki dewasa agar memakai kondom jika melalukan hubungan seksual berisiko?
Tentu saja tidak bisa. Maka, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa pun akan terus terjadi sehingga penyebaran HIV pun terus pula terjadi antar penduduk terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak kasus HIV terdeteksi pada bayi dan ibu-ibu rumah tangga. Ini terjadi karena suami menularkan HIV ke istri.
Sedangkan cara yang disebutkan di Perda AIDS Kab Semarang yaitu “peran keluarga dan penerapan kaidah agama cegah seks pranikah dah seks berisiko”. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual) bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, di luar nikah, zina, melacur, seks bebas, dll.).
Cara yang disebutkan di perda Kab Pasuruan dan Kota Surabaya merupakan mitos (anggapan yang salah). Disebutkan cara mencegah HIV adalah: Tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah. Ini ngawur karena penularan HIV bukan karena sifat hubungan seksual tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual.
Cara pencegahan penularan HIV yang disebutkan di Perda Kab Pasurusan dan Kota Surabaya yaitu “Hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah” adalah ironi sekaligus penghinaan dan penghujatan terhadap istri-istri yang tertular HIV dari suaminya. Hubungan seksual yang dilakukan istri-istri itu dengan suaminya adalah sah dan halal karena dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum. Kasihan istri-istri yang tertular HIV dari suaminya dikategorikan sebagi pelaku hubungan seksual yang tidak sah.
Selama cara-cara pencegahan HIV tidak dilakukan dengan cara yang konkret, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi di Jawa Timur, terutama pada laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan perilaku berisko di Jawa Timur ada di luar Jawa Timur.
Tingkat kematian Odha yang tinggi di Jatim bisa jadi karena program penjangkauan yang tidak efektif sehingga yang terjadi hanya penanggulangan pasif yaitu menunggu warga pengidap HIV/AIDS datang berobat ke rumah sakit ketika penyakit yang mereka derita yang terkait dengan HIV/AIDS kian parah.
Tes HIV yang dijalankan terhadap ibu-ibu hamil dan orang-orang dengan perilaku berisiko adalah penanggulangan di hilir. Artinya, pemerintah setempat membiarkan warga tertular HIV dulu baru ditangani melalui tes HIV. Begitu juga dengan tes HIV bagi calon pengantin tidak bermakna bagi penanggulangan HIV/AIDS karena yang menikah setiap hari bisa dihitung jari, sedangkan yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV ratusan bahkan ribuan orang setiap malam dengan berbagai bentuk dan di sembarang tempat di Jatim dan di luar Jatim.
Penyebaran HIV terjadi tanpa disadari oleh banyak orang sehingga epidemi HIV/AIDS di Jatim khususnya dan di Indonesia umumnya akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H