Perilaku nomor 1, 2, 3, 4, dan 5 b sama sekali tidak bisa dikontrol secara langsung oleh pemerintah pusat dan daerah (provinsi, kabupaten dan kota) karena terjadi antar orang per orang pada sembarang waktu dan sembarang tempat.
Wajib Kondom
Yang bisa diintervensi oleh pemerintah adalah perilaku berisiko nomor 5 a, tapi itu hanya bisa dilakukan jika praktek pelacuran dilokalisir sehingga bisa dijalankan program ‘wajib kondom bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung’. Celakanya, sejak reformasi ada euforia menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran. Itu artinya praktek pelacuaran dan transaksi seks terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai cara.
Ketika Thailand berhasil menurunkan insiden (penularan) infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK langsung melalui program yang dikenal sebagai “wajib kondom 100 persen”, Indonesia pun ramai-ramai ‘mencangkok’ program itu melalui peraturan daerah (Perda). Masalahnya adalah program “wajib kondom 100 persen” di Thailand adalah ‘ekor’ program dari lima program penanggulangan AIDS berskala nasional. Itu artinya Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS Thailand. Lebih celaka lagi program “wajib kondom 100 persen” di perda-perda AIDS tidak diimplementasikan secara konkret (Lihat: Syaiful W. Harahap - Perda AIDS di Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand).
Sedangkan pada dua perda (Kab Malang dan Kab Tulungagung) cara yang disampaikan yaitu “Pakai kondom pada hubungan seksual berisiko” jelas hanya orasi moral karena tidak ada mekanisme yang bisa mengawasi hal tsb.
Bagaimana Pemkab Malang, Pemkab Semarang dan Pemkab Tulungagung mengawasi laki-laki dewasa agar memakai kondom jika melalukan hubungan seksual berisiko?
Tentu saja tidak bisa. Maka, insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa pun akan terus terjadi sehingga penyebaran HIV pun terus pula terjadi antar penduduk terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak kasus HIV terdeteksi pada bayi dan ibu-ibu rumah tangga. Ini terjadi karena suami menularkan HIV ke istri.
Sedangkan cara yang disebutkan di Perda AIDS Kab Semarang yaitu “peran keluarga dan penerapan kaidah agama cegah seks pranikah dah seks berisiko”. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak pakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual) bukan karena sifat hubungan seksual (belum menikah, di luar nikah, zina, melacur, seks bebas, dll.).
Cara yang disebutkan di perda Kab Pasuruan dan Kota Surabaya merupakan mitos (anggapan yang salah). Disebutkan cara mencegah HIV adalah: Tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah. Ini ngawur karena penularan HIV bukan karena sifat hubungan seksual tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual.
Cara pencegahan penularan HIV yang disebutkan di Perda Kab Pasurusan dan Kota Surabaya yaitu “Hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah” adalah ironi sekaligus penghinaan dan penghujatan terhadap istri-istri yang tertular HIV dari suaminya. Hubungan seksual yang dilakukan istri-istri itu dengan suaminya adalah sah dan halal karena dilakukan dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan hukum. Kasihan istri-istri yang tertular HIV dari suaminya dikategorikan sebagi pelaku hubungan seksual yang tidak sah.