Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Uji Materi Seks Gay di MK: Seks Anal, Seks Oral dan Posisi "69" Juga Dilakukan Sebagian Pasangan Heteroseksual Bahkan Suami-Istri

13 Agustus 2016   14:46 Diperbarui: 28 Agustus 2016   06:10 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hubungan seksual pada homoseksual laki-laki (gay) adalah seks oral dan seks anal. Nah, kalau yang dipersoalkan hanya pada gay, lalu bagaimana dengan seks oral dan seks anal pada pasangan suami-istri yang menikah secara sah menurut agama dan negara?

“Mahkamah Konstitusi sedang mempertimbangkan apakah hubungan seks antara orang-orang gay merupakan kejahatan, setelah menerima permohonan uji materi dari para aktivis Islam.” Ini pernyataan dalam berita “Mahkamah Konstitusi Sidangkan Kasus Kriminalisasi Hubungan Seks Gay” (Associated Press/VOA Indonesia, 4/8-2016).

Frasa “ .... apakah hubungan seks antara orang-orang gay merupakan kejahatan” menimbulkan pertanyaan berikut: Apakah hubungan seksual ala gay pada pasangan suami-istri dan bukan suami-istri merupakan kejahatan atau bukan kejahatan?

Lagi pula seks anal dan seks oral tidak hanya dilakukan oleh pasangan gay dan lesbian karena seks anal dan seks oral juga dilakukan oleh pasangan heteroseksual, seperti pasangan suami-istri, pasangan yang pacaran, dengan pekerja seks komersial (PSK), dengan cewek pijat plus-plus, dll. Ada pula facesitting yaitu seks oral bersama-sama pada satu pasangan, bisa homoseksual dan heteroseksual, yang dikenal dengan istilah “enam sembilan”.

Seks anal adalah hubungan seksual berupa penis ke anus, sedangkan seks oral adalah penis masuk ke mulut (fellatio) dan mulut atau lidah ke vagina (cunnilingus). Jika ada unsur paksaan itu disebut sodomi yaitu memasukkan penis ke anus atau mulut yang tidak alamiah secara paksan dengan tekanan fisik dan psikologis.

Seks anal dan seks oral yang dipaksakan disebut sodomi yang masuk ranah hukum karena ada unsur kekerasan dan tidak alamiah. Maka, persoalannya adalah apakah seks anal dan seks oral pada gay itu terjadi karena dipaksa atau tidak?

Tanpa ada unsur kriminalisasi di UU pun seks anal dan seks oral pada gay bisa disebut sodomi jika ada unsur paksaan dan yang dianal mengadu ke polisi sehingga hal itu termasuk sodomi yang memenuhi unsur pidana.

Nah, persoalannya adalah: Kalau seks anal dan seks oral tidak dipaksakan dan tidak dilaporkan ke polisi tentulah tidak menjadi kasus pidana.

Seks Anal sebagai Kontrasepsi

Bahkan, seks anal jadi pilihan sebagian orang sebagai ‘kontrasepsi’ agar tidak terjadi kehamilan baik pada pasangan suami-istri, perselingkuhan dan yang berpacaran. “Hindari hamil, pria ini sodomi pacar hingga puluhan kali” (merdeka.com, 30/12-2015). Ini terjadi di Palembang, Sumatera Selatan. Amir Hamzah, 27 tahun, melakukan seks anal dengan pacarnya, WU, 21 tahun, agar tidak hamil. Kalau kriminalisasi seks anal hanya pada gay, maka pengaduan WU ke polisi tentulah batal demi hukum karena Amir dan WU bukan gay. Seks anal itu juga. Bahkan, seperti dikatakan oleh Amir sodomi itu mereka lakukan dengan dasar suka sama suka.

Judul berita itu pun tidak pas karena seks anal dilakukan karena suka sama suka dan kesepakatan mereka agar tidak terjadi kehamilan sehingga seks anal yang dilakukan Amir terhadap WU bukan sodomi.

Yang diuji materi ke MK adalah frasa ini: “ .... seks antara orang dewasa dan anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama adalah kejahatan, dan bisa dikenai hukuman penjara hingga 15 tahun.”

Para penggugat dari “Aliansi Cinta Keluarga” yang diketuai oleh Rita Hendrawaty, mengatakan bukan hanya pada anak-anak tapi juga pada kalangan dewasa sejenis.

Frasa : ‘ .... seks antara orang dewasa dan anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama adalah kejahatan’  bias karena mengabaikan ‘seks antara orang dewasa dan anak di bawah umur dari jenis kelamin yang berbeda’.

Ada kemungkinan yang disasar adalah laki-laki dewasa paedofilia, tapi tidak akurat karena laki-laki paedofilia juga melakukan seks dengan lawan jenis. Paedofilia adalah laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan melakukan hubungan seksual, seks oral, seks anal dan seks vaginal dengan anak-anak  berumur 7-12 tahun.

Hukuman bagi laki-laki pelaku paedofilia di beberapa negara adalah hukuman mati, seperti suntik mati. Ini perlu jadi perhatian karena Indonesia menjadi ‘tujuan wisata seks’ paedofilia dunia. Ada lima daerah tujuan utama kaum paedofilia di Indonesia. "Pariwisata seks anak itu ada di Bali, NTB, Jawa Timur, Batam sama Jabar," imbuh Kanit II Perlindungan Perempuan dan Anak Dittipidum Bareskrim Polri AKBP Dwi Kornansiwaty (merdeka.com, 26/9-2015).

Lalu ada pula perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan melakukan hubungan seksual, seks oral, seks anal dan seks vaginal dengan anak-anak  berumur 7-12 tahun yang disebut cougar. Jika berpijak pada frasa di atas tadi, maka cougar lolos dari ancanam hukuman 15 tahun sehingga hanya dijerat dengan KUHP atau UU Perlindungan Anak.

Di Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, seorang ibu rumah tangga yang juga istri Ketua RT setempat, memaksa enam remaja bersebutuh dengan dia. Ini tentu bukan cougar karena remaja itu, disebut ‘anak baru gede’ (ABG), berumur 15-17 tahun. Pelaku kemudian divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 60 juta (metrotvnews, 4/12-2013).

Dalam berita Rita Hendrawaty mengatakan: “Kami tidak berniat untuk menganggap kejahatan bagi mereka yang memiliki orientasi seksual menyimpang. ....”, tapi hanya menyasar laki-laki gay.

Pemakaian istilah ‘orientasi seksual menyimpang’ kepada LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) tidak fair karena pelaku seks oral dan seks anal juga dari kalangan orientasi seksual yang heteroseksual, bahkan pada pasangan suami-istri yang sah di mata agama dan hukum.

Parafilia

Rita tidak menyoal seks anal dan seks oral serta seks ‘enam sembilan’ pada pasangan yang bukan gay, suami-istri dan pasangan heteroseksual dalam hubungan di luar nikah atau zina dan praktek pelacuran.

Yang perlu dipertegas dalam UU pidana, yaitu:

(1) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku infantofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada bayi dan anak-anak umur 0-7 tahun (Infantofilia Mengintai Bayi dan Anak-anak Sebagai Pelampiasan Seks).

(2) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku paedofilia yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual, seks anal dan seks vaginal kepada anak-anak laki-laki dan perempuan umur 7-12 tahun (Pelaku Sodomi Tidak Otomatis Seorang Paedofilia atau Gay).

(3) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku cougar yaitu perempuan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan ‘anak baru gede’ (ABG) laki-laki umur 12-18 tahun secara paksa (Perppu Kejahatan Seksual: Infantofilia dan Korban Dewasa, Pelaku Sodomi, Paedofilia dan Cougar).

(4) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku incest yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual kepada sesama anggota keluarga.

(5) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku sodomi yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual, seks vaginal, seks anal dan seks oral secara paksa kepada laki-laki dan permpuan (Pelaku Sodomi Tidak Otomatis Seorang Paedofilia atau Gay).

(6) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku pemerkosa yaitu laki-laki remaja dan dewasa yang menyalurkan dorongan seksual melalui seks vaginal secara paksa kepada lawan jenis  (KBBI: Menggagahi = Memperkosa).

(7) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku fetihisme yaitu laki-laki atau perempuan dewasa yang memanfaatkan benda-benda milik lawan jenisnya untuk memicu dorongan seksual (Guru Agama Curi ''CD'' Perempuan Merupakan Bentuk Fetisisme).

(8) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku eksibisionisme yaitu laki-laki dewasa yang mempertontonkan bagian-bagian tubuhnya yang bisa mendorong hasrat seksual, seperti payudara, penis, bokong, dll. (Mahasiswi “Topless” di Samarinda, Kaltim: Eksibisionisme Setengah Hati).

(9) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku frotteurisme/frotteurism yaitu laki-laki dewasa yang mencari kepuasan seksual dengan cara menggesek-gesekkan alat kelaminnya ke bagian-bagian tubuh perempuan di tempat umum.

(10) Hukuman penjara dan denda kepada pelaku foyeurisme yaitu laki-laki dewasa yang menyalurkan dorongan seksual dengan cara mengintip perempuan yang sedang telanjang, mandi atau psangan yang sedang melakukan hubungan seksual (Parafilia, Memuaskan Dorongan Hasrat Seksual ’di atau dari Sisi Lain’).

Hubungan seksual apa pun dan dilakukan oleh orang-orang dengan orientgasi seksual apa pun jika dengan cara paksa adalah perbuatan yang melawan hukum. Jika seks oral dan seks anal pada homoseksual saja yang dikategorikan sebagai tidak pidana atau kriminal, maka kita sudah melakukan diskriminasi yang justru merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia  (HAM).

Di sisi lain hal itu juga membiarkan seks anal dan seks oral terjadi dalam ikatan pernikahan yang sah dan pada hubungan seksual yang bukan homoseksual. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun