Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyalahgunaan Narkoba (Dulu) Kecil karena Bangsa Indonesia Berbudaya dan Beragama?

30 April 2016   08:30 Diperbarui: 30 April 2016   16:13 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* PBB hanya berani tegur Indonesia soal hukuman mati dan memilih jadi ‘banci’ menghadapi negara pelaku eksekusi mati terbesar di jagat raya ....

Kalau saja sejak awal penemuan kasus penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) pemerintah bertindak realistis tentulah kondisinya tidak seperti sekarang ketika setiap hari 30-40 orang mati sia-sia dari 5,9 juta penyalahguna narkoba di Indonesia (kompas.com, 11/1-2016).

Di tahun 1970-an – awal 1980-an pemerintah selalu menepuk dada dengan mengatakan bahwa penyalahgunaan narkoba, ketika itu disebut obat-obat terlarang yang ditandai dengan sebutan morfinis bagi penyalahguna, tidak akan terjadi di Indonesia karena bangsa Indonesia berbudaya dan beragama. Memang, ketika itu kasus narkoba yang ditangani polisi hanya hitungan jari.

Pemakaian istilah (terminologi) seputar narkoba terus berjalan. Terakhir WHO menyebutkan penyalahgunaan zat (substance abuse) bukan penyalahgunaa obat (drug abuse) karena yang disalahgunakan adalah zat yang ada dalam obat.

Di Indonesia sendiri istilah terkait narkoba centang-perenang. Setiap orang, instansi dan lembaga memakai istilah sendiri. Maka, munculah NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif)  dan NAZA (narkotika dan zat adiktif). Jika mengacu ke WHO yang tepat adalah narkotika dan bahan-bahan berbahaya (Narkoba).

Lalu ada pula istilah yang ngawur bin ngaco: obat terlarang, obat haram, serbuk haram, serbuk setan, dll. Dari aspek hukum Islam tidak ada zat yang haram di dalam narkoba sehingga penggunaan kata haram terkait narkoba tidak tepat. (26 Juni: Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap NarkobaInternasional).

Internasional pun menetapkan tanggal 16 Juni sebagai “International Day Against Drug Abuse and Illicit Trafficking” (Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Internasional). Tapi, Indonesia menyebutnya sebagai "Hari Anti Narkotika Internasional" (HANI). Bahkan, di zaman Orba disebut “Hari Anti Madat”. Padahal, madat adalah mengisap candu. Maka, menyuntik morfin, menelan pil Ecstasy, dan menghirup sabu-sabu tidak dilarang, dong.

Narkoba hanya dilarang jika digunakan di luar keperluan medis, sedangkan penggunaan dan pemakaian untuk keperluan medis dilindungi UU. Orang-orang yang diperasi (dibedah) al. memakai narkoba agar tidak kesakitan selama dibedah.

Maka, ketika seorang psikiater yang sejak awal menangani kasus penyalahgunaan narkoba dikirim ke sebuah konferensi internasional tentang Narkoba di awal tahun 1980-an, peserta konferensi pun bengong mendengarkan pernyataan psikiater tadi yang dia baca dari makalah yang disiapkan.

“Saya juga tidak bisa menerima pernyataan itu,” kata psikiater tadi dalam sebuah wawancara dengan penulis. Soalnya, dalam makalah disebutkan bahwa kasus penyalahgunaan narkoba rendah di Indonesia karena: Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan beragama.

Tentu saja peserta terheran-heran karena semua bangsa di dunia ini berbudaya dan beragama, keculai beberapa negara yang menganut paham komunis dan sosialis. Pengakuan psikiater tadi dia pun “memperbaiki” makalah dengan menambahkan kasus kecil karena daya beli masyarakat Indonesia rendah dan Indonesia terisolir dari relasi internasional. Maklum, waktu itu akses ke luar negeri sangat terbatas.

Peserta tepuk tangan, tapi psikiater tadi didamprat ketika tiba di Indonesia. “Wah, saya ‘dijewer’ ketika kembali ke instansi saya,” kata psikiater itu dengan pelan. Tapi, dia tidak kecil hati karena berbagai langkah yang digagasnya menjadi cikal-bakal penanggulangan dan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia. 

Begitu pula ketika Direktur Eksekutif UNAIDS, badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS, waktu itu dijabat oleh Dr Peter Piot, pada Kongres AIDS Internaisonal Asia Pasifik (ICAAP VI di Melbourne, Australia, 2001) mengingatkan Indonesia bahwa kasus penyebaran HIV/AIDS di Indonesia melalui penyalahgunaan narkoba dengan suntikan sangat besar, tapi tidak ada langkah-langkah konkret yang dilakukan pemerintah (AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan). 

Dalam satu dekade setelah kongres itu jumlah kasus HIV/AIDS yang didorong oleh penyebaran melalui penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik meroket. Pemerintah pun kalang kabut dan melakukan berbagai tindakan. Kasus penyebaran melalui narkoba suntik menurun, tapi penyebaran dengan faktor risiko hubungan seksual pada heteroseksual meroket pula yang antara lain ditandai dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada perempuan hamil. 

Karena penyebaran informasiHIV/AIDS yang tidak akurat, sama seperti narkoba, maka pemahaman masyarakat punsalah sehingga muncul stigmatisasi dan diskriminasi serta penolakan wargaterhadap pengidap HIV/AIDS (AIDS: Penolakan Warga Karena Informasi HIV/AIDS yangMenyesatkan).

Salah satu langkah konkret pemerintah dalam memutus pasoka narkoba adalah dengan memberikan hukuman seumur hidup sampai hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Celakanya, hukuman berat terhadap narapidana narkoba justru ‘dianulir’ oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dengan memberikan grasi kepada terpidana narkoba warga negara Australia Schapelle Leigh Corby yang tertangkap di Bandara Ngurah Rai membawa 4,2 kg ganja (2004). PN Denpasar menghukum Corby dengan 20 tahun penjara yang dikukuhkan oleh Mahkamah Agung (2016). SBY pun bermuarah hati memberikan grasi 5 tahun bagi Corby (15 Mei 2012). (radarcirebon.com, 14/2-2014).

Di era Jokowi-JK hukuman mati dilaksanakan terhadap bandar narkoba dan pelaku kriminal berat lain. Tapi, pemerintah terbentur dengan upaya hukum para terpidana mati yaitu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memboleh peninajuan kembali (PK) lebih dari satu kali. Celakanya, terpidana mata tidak mengajukan PK sehingga eksekusi mereka terus digantung hukum.

Aktivis hukum dan HAM pun mengabaikan korban narkoba dan memilih membela pengedar narkoba dengan menuntut penghapusan hukuman mati. Celakanya, PBB pun hanya berani ‘menegur’ Indonesia padahal sampai tahun 2015 Cina, Iran, Pakistan, Arab Saudi, Amerika Serikat, Irak, Somalia, Mesir, Indonesia, Chad adalah negara dengan eksekusi mata terbanyak (BBC Indoneia/okezone.com, 6/4-2016). Celakanya, PBB bersikap banci terhadap negara-negara besar itu. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun