Peserta tepuk tangan, tapi psikiater tadi didamprat ketika tiba di Indonesia. “Wah, saya ‘dijewer’ ketika kembali ke instansi saya,” kata psikiater itu dengan pelan. Tapi, dia tidak kecil hati karena berbagai langkah yang digagasnya menjadi cikal-bakal penanggulangan dan rehabilitasi penyalahgunaan narkoba di Indonesia.
Begitu pula ketika Direktur Eksekutif UNAIDS, badan PBB yang khusus menangani HIV/AIDS, waktu itu dijabat oleh Dr Peter Piot, pada Kongres AIDS Internaisonal Asia Pasifik (ICAAP VI di Melbourne, Australia, 2001) mengingatkan Indonesia bahwa kasus penyebaran HIV/AIDS di Indonesia melalui penyalahgunaan narkoba dengan suntikan sangat besar, tapi tidak ada langkah-langkah konkret yang dilakukan pemerintah (AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan).
Dalam satu dekade setelah kongres itu jumlah kasus HIV/AIDS yang didorong oleh penyebaran melalui penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik meroket. Pemerintah pun kalang kabut dan melakukan berbagai tindakan. Kasus penyebaran melalui narkoba suntik menurun, tapi penyebaran dengan faktor risiko hubungan seksual pada heteroseksual meroket pula yang antara lain ditandai dengan jumlah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada perempuan hamil.
Karena penyebaran informasiHIV/AIDS yang tidak akurat, sama seperti narkoba, maka pemahaman masyarakat punsalah sehingga muncul stigmatisasi dan diskriminasi serta penolakan wargaterhadap pengidap HIV/AIDS (AIDS: Penolakan Warga Karena Informasi HIV/AIDS yangMenyesatkan).
Salah satu langkah konkret pemerintah dalam memutus pasoka narkoba adalah dengan memberikan hukuman seumur hidup sampai hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Celakanya, hukuman berat terhadap narapidana narkoba justru ‘dianulir’ oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) dengan memberikan grasi kepada terpidana narkoba warga negara Australia Schapelle Leigh Corby yang tertangkap di Bandara Ngurah Rai membawa 4,2 kg ganja (2004). PN Denpasar menghukum Corby dengan 20 tahun penjara yang dikukuhkan oleh Mahkamah Agung (2016). SBY pun bermuarah hati memberikan grasi 5 tahun bagi Corby (15 Mei 2012). (radarcirebon.com, 14/2-2014).
Di era Jokowi-JK hukuman mati dilaksanakan terhadap bandar narkoba dan pelaku kriminal berat lain. Tapi, pemerintah terbentur dengan upaya hukum para terpidana mati yaitu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memboleh peninajuan kembali (PK) lebih dari satu kali. Celakanya, terpidana mata tidak mengajukan PK sehingga eksekusi mereka terus digantung hukum.
Aktivis hukum dan HAM pun mengabaikan korban narkoba dan memilih membela pengedar narkoba dengan menuntut penghapusan hukuman mati. Celakanya, PBB pun hanya berani ‘menegur’ Indonesia padahal sampai tahun 2015 Cina, Iran, Pakistan, Arab Saudi, Amerika Serikat, Irak, Somalia, Mesir, Indonesia, Chad adalah negara dengan eksekusi mata terbanyak (BBC Indoneia/okezone.com, 6/4-2016). Celakanya, PBB bersikap banci terhadap negara-negara besar itu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H