* PBB hanya berani tegur Indonesia soal hukuman mati dan memilih jadi ‘banci’ menghadapi negara pelaku eksekusi mati terbesar di jagat raya ....
Kalau saja sejak awal penemuan kasus penyalahgunaan narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) pemerintah bertindak realistis tentulah kondisinya tidak seperti sekarang ketika setiap hari 30-40 orang mati sia-sia dari 5,9 juta penyalahguna narkoba di Indonesia (kompas.com, 11/1-2016).
Di tahun 1970-an – awal 1980-an pemerintah selalu menepuk dada dengan mengatakan bahwa penyalahgunaan narkoba, ketika itu disebut obat-obat terlarang yang ditandai dengan sebutan morfinis bagi penyalahguna, tidak akan terjadi di Indonesia karena bangsa Indonesia berbudaya dan beragama. Memang, ketika itu kasus narkoba yang ditangani polisi hanya hitungan jari.
Pemakaian istilah (terminologi) seputar narkoba terus berjalan. Terakhir WHO menyebutkan penyalahgunaan zat (substance abuse) bukan penyalahgunaa obat (drug abuse) karena yang disalahgunakan adalah zat yang ada dalam obat.
Di Indonesia sendiri istilah terkait narkoba centang-perenang. Setiap orang, instansi dan lembaga memakai istilah sendiri. Maka, munculah NAPZA (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) dan NAZA (narkotika dan zat adiktif). Jika mengacu ke WHO yang tepat adalah narkotika dan bahan-bahan berbahaya (Narkoba).
Lalu ada pula istilah yang ngawur bin ngaco: obat terlarang, obat haram, serbuk haram, serbuk setan, dll. Dari aspek hukum Islam tidak ada zat yang haram di dalam narkoba sehingga penggunaan kata haram terkait narkoba tidak tepat. (26 Juni: Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap NarkobaInternasional).
Internasional pun menetapkan tanggal 16 Juni sebagai “International Day Against Drug Abuse and Illicit Trafficking” (Hari Anti Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Internasional). Tapi, Indonesia menyebutnya sebagai "Hari Anti Narkotika Internasional" (HANI). Bahkan, di zaman Orba disebut “Hari Anti Madat”. Padahal, madat adalah mengisap candu. Maka, menyuntik morfin, menelan pil Ecstasy, dan menghirup sabu-sabu tidak dilarang, dong.
Narkoba hanya dilarang jika digunakan di luar keperluan medis, sedangkan penggunaan dan pemakaian untuk keperluan medis dilindungi UU. Orang-orang yang diperasi (dibedah) al. memakai narkoba agar tidak kesakitan selama dibedah.
Maka, ketika seorang psikiater yang sejak awal menangani kasus penyalahgunaan narkoba dikirim ke sebuah konferensi internasional tentang Narkoba di awal tahun 1980-an, peserta konferensi pun bengong mendengarkan pernyataan psikiater tadi yang dia baca dari makalah yang disiapkan.
“Saya juga tidak bisa menerima pernyataan itu,” kata psikiater tadi dalam sebuah wawancara dengan penulis. Soalnya, dalam makalah disebutkan bahwa kasus penyalahgunaan narkoba rendah di Indonesia karena: Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan beragama.
Tentu saja peserta terheran-heran karena semua bangsa di dunia ini berbudaya dan beragama, keculai beberapa negara yang menganut paham komunis dan sosialis. Pengakuan psikiater tadi dia pun “memperbaiki” makalah dengan menambahkan kasus kecil karena daya beli masyarakat Indonesia rendah dan Indonesia terisolir dari relasi internasional. Maklum, waktu itu akses ke luar negeri sangat terbatas.