Sedangkan Presiden Jokowi juga melantik dua gubernur di Istana yaitu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (19/11/2014), dan Gubernur Banten, Rano Karno (12/8-2015).
Pada kesempatan pelantikan itu itu Presiden mengingatkan agar gubernur dan wakil gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melaksanakan pembangunan di daerahnya dengan berpedoman pada visi-misi Presiden. "Dengan cara itu, kita bisa membangun keterpaduan, keintegrasian, memperkuat sinergi dalam percepatan pembangunan nasional," kata Presiden.
Persoalannya kemudian adalah tidak ada garis komando dari gubernur ke bupati dan walikota karena secara de facto gubernur tidak mempunyai wilayah. Maka, amatlah masuk akal kalau UU Otda direvisi dengan mengatur otonomi ada pada gubernur sehingga roda pemerintahan di kabupaten dan kota bisa berjalan dengan garis komando gubernur.
Tentu saja hal ini akan ditentang habis-habisan karena banyak kepentingan. Bayangkan, ada 34 provinsi, 416 kabupaten dan 94 kota. Nah, dalam pilkada calon-calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta walikota/wakil walikota akan mencari ‘perahu’ sebagai tumpangan yaitu partai politik (parpol). Nah, di sini ‘kan ada ‘ongkos perahu’ yang jumlahnya bisa puluhan miliar.
Maka, adalah ‘mimpi di siang bolong’ parpol akan lapang dada merevisi UU Otda. Mereka menikmati ‘ongkos perahu’ sementara rakyat gigit jari menghadapi sebagian besar ‘raja-raja’ yang tidak berpihak pada rakyat yang memilih mereka. ***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI