Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyoal Otonomi Daerah yang (Sudah) ‘Memecah Belah’ Bangsa

13 Februari 2016   11:12 Diperbarui: 13 Februari 2016   11:19 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto ketika Bung Karno melantik Bang Ali jadi Gubernur DCI Djakarta. Tidak disebutkan sumber foto, sedangkan foto ini di-repro dari “news.liputan6.com”.

 

PELANTIKAN KEPALA DAERAH. Saatnya Tingkatkan Hubungan Pusat-Daerah” Judul berita di Harian “KOMPAS” (13/2-2016) ini sangat aktual dan realistis untuk ‘mengutuk’ Otonomi Daerah karena sejak UU itu diberlakukan Indonesia sudah menjadi negara federal dengan DPR yang setengah parlementer.

Pengalaman pahit Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika ada kepala daerah yang tidur saat beliau pidato di Istana. Ini terjadi karena ‘posisi’ presiden, gubernur, bupati dan walikota tidak lagi dihubungkan dengan garis komando. Tidak ada wewenang presiden menegur kepala desa, camat, bupati, walikota dan gubernur.

Yang bisa menjatuhkan gubernur, bupati dan walikota hanya DPRD berdasarkan putusan hukum karena kasus pidana, dalam hal ini Mahkamah Agung, dengan persetujuan presiden. Celakanya, kalau gubernur, bupati atau walikota ‘kongkalikong’ dengan DPRD, maka amanlah posisi pejabat itu.

Dana Pusat

Hak interpleasi DPRD Sumut, misalnya, raib hanya dengan lemparan lembaran-lembaran uang kertas yang diambil gubernur daerah itu dari dana bantuan sosial (Bansos). Gubernur dan anggota DPRD Sumut dicokok KPK dan Kejakgung sebagai tersangka suap dan korupsi.

Kita tidak tahu persis apa yang ada di benak pemrakarsa ‘karya hama agung’ UU Otonomi Daerah (Otda) yang diundangkan oleh Presiden BJ Habibie, yang naik karena Presiden Soeharto melengserkan diri (1998), tahun 1999. Yang jelas UU itu membuat negeri ini ‘porak-poranda’ dengan kekuasaan yang terpecah ke tangan ‘raja-raja’ di tingkat kabupaten dan kota.

Bermula dar UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah muncullah ‘raja’ di tingkat kabupaten dan kota karena otonomi itu bermakna kewenangan untuk mengatur, memanfaatkan dan mengekplitasi sumber-submer daya alam ada di tangan ‘raja-raja’ tadi. Maka, tidaklah mengeherankan kalau kemudian hutan lindung pun menjadi lahan perkebunan karena ‘raja’ menurunkan ‘titah’ dengan cara alih fungsi lahan.

Biar pun UU itu, No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tahun 2004

diganti dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tetap saja tidak mengatur pola kekuasaan ‘raja-raja’ daerah. Bahkan, legitimasi ‘raja-raja’ itu kian kuat karena mereka ‘dipilih’ langsung oleh rakyat.

Celakanya, banyak daerah otonomi itu yang tidak mempunyai sumber daya alam (SDA) dan pendapatan asli daerah (PAD) juga sangat minim. Mereka hanya mengandalkan dana dari Pusat.

Kondisinya kian runyam karena di banyak daerah otonomi dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) habis untuk membayar gani pegawai. Ada yang memakai 70 pesen dana APBD untuk gaji pegawai, sementara PAD sangat kecil karena hanya dari pajak dan retribusi. Daera lain yang punya SDA mengeksploitasi SDA tanpa memikirkan dampak buruk terhadap lingkungan dan masyarakat.

Maka, hutan lindung dan daerah tangkapan hujan pun ‘disulap’ jadi kebun sawit atau pertambangan terbuka. Penduduk lokal hanya bisa menggerutu dan gigit jari. Kontribusi ke daerah pun sangat kecil dan lapangan kerja juga tidak banyak yang terbuka dari perkebunan.

Yang menyedihkan adalah banyak orang yang tidak memahami Otda. Bahkan, wartawan pun sering salah nalar. Misalnya, bertanya ke penduduk jika ada bencana alam: Apakah pemerintah pusat sudah memberikan bantuan?

Di masa Presiden Gus Dur, Departemen Sosial dibubarkan karena secara hukum urusan sosial daerah ada di pemerintah daerah. Tapi, karena sosialisasi Otda tidak komprehensif ada ‘raja’ yang menggiring opini publik bahwa persoalan semua ada di Jakarta (baca: pemerintah pusat).

Maka, amatlah berasalan kalau kemudian rakyat ‘menuntut’ Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo untuk mempebaiki jalan desa dengan mengunggah kondisi jalan di daerahnya, mengeluhkan listrik, sekolah, dll. Yang tidak boleh ditangani daerah hanya pertahanan keamanan (hankam), moneter dan luar negeri.

Bang Ali

Otonomi pun membuat ‘raja-raja’ mengatus daerahnya dengan patokan kekuatan mayoritas, terutama terkait dengan agama. Ini dimulai dengan pemberian otonomi khusus berdasarkan agama kepada Aceh oleh Presiden Megawati Sukarnoputri sehingga daerah itu menerapkan atuaran agama. Langkah Megawati ini bertentangan dengan UUD ’45 karena mengebiri hak-hak warga negera untuk hidup dan menjalankan agama yang dipeluknya di semua daerah di NKRI.

Untuk pertama kali gubernur dan wakil gubernur terpilih dilantik serentak di Istana (12/2-2016). Ini bukan pertama kali gubernur dilantik oleh presiden dan dilantik di Istana.

Sebelumnya,  di masa Presiden Soekarno dua gubernur dilantik, yaitu Gubernur Sumut, Mr. S.M. Amin (19 Juni 1948) di Pendopo Keresidenan Aceh Provinsi Sumatera Utara, dan Gubernur DKI Jakarta, Bang Ali (Letjen KKO Ali Sadikin) pada tahun 28 April 1966 di Istana.

Kemudian pada tanggal 10 Oktober 2012, Presiden SBY melantik Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Gubernur Yogyakarta di Istana Kepresidenan Gedung Agung Yogyakarta.

Sedangkan Presiden Jokowi juga melantik dua gubernur di Istana yaitu, Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (19/11/2014), dan Gubernur Banten, Rano Karno (12/8-2015).

Pada kesempatan pelantikan itu itu Presiden mengingatkan agar gubernur dan wakil gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah melaksanakan pembangunan di daerahnya dengan berpedoman pada visi-misi Presiden. "Dengan cara itu, kita bisa membangun keterpaduan, keintegrasian, memperkuat sinergi dalam percepatan pembangunan nasional," kata Presiden.

Persoalannya kemudian adalah tidak ada garis komando dari gubernur ke bupati dan walikota karena secara de facto gubernur tidak mempunyai wilayah. Maka, amatlah masuk akal kalau UU Otda direvisi dengan mengatur otonomi ada pada gubernur sehingga roda pemerintahan di kabupaten dan kota bisa berjalan dengan garis komando gubernur.

Tentu saja hal ini akan ditentang habis-habisan karena banyak kepentingan. Bayangkan, ada 34 provinsi, 416 kabupaten dan 94 kota. Nah, dalam pilkada calon-calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, serta walikota/wakil walikota akan mencari ‘perahu’ sebagai tumpangan yaitu partai politik (parpol). Nah, di sini ‘kan ada ‘ongkos perahu’ yang jumlahnya bisa puluhan miliar.

Maka, adalah ‘mimpi di siang bolong’ parpol akan lapang dada merevisi UU Otda. Mereka menikmati ‘ongkos perahu’ sementara rakyat gigit jari menghadapi sebagian besar ‘raja-raja’ yang tidak berpihak pada rakyat yang memilih mereka. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun