Gelar kepahlawanan di kalangan suku Batak merupakan sesuatu yang sakral sehingga gagasan pemberian gelar ’raja’ itu pun merupakan tindakan yang gegabah karena sarat dengan kepeintingan politik. ”Raja’ di Batak tidak terkait dengan kekuasaa yang dikabarkan selalu cenderung untuk korup dan berlaku sewenang-wenang dengan kekuasaanya terhadap wong cilik.
Kalau penggagas gelar itu ingin memberikan gelar ‘Raja Batak’ kepada Presiden SBY, tolong dipahami, bahwa itu hanya sebatas di kalangan marga atau suku yang memberikan gelar tsb. Yang jelas Presiden SBY harus diberi marga baru bisa jadi raja. Itu pun di kalangan marga yang memberikan gelar tsb., tidak untuk marga-marga lain. Dengan demikian jika Presiden SBY dianugerahkan marga ”X” dan jadilah Presiden SBY sebagai ‘Raja’ di marga ”X”.
"Pemberian gelar ini sungguh tidak pantas. SBY bukan orang Batak. Dia juga tidak punya jasa apa pun bagi warga Batak. Ini hanya sebuah politisasi etnis Batak yang dilakukan antek-antek SBY macam TB Silalahi itu.” Ini disampaikan oleh Frans Pangaribuan, koordinator gerakan Aliansi Batak Seluruh Indonesia/ABSI (tribunnews.com, 16/1-2011).
Pangaribuan benar karena pemberian gelar atau marga kepada orang dari luar etnis Batak tidak sembarangan karena menyangkut harga diri dan martabat sebagai suku. Pemberian marga yang umum adalah kepada (calon) menantu, laki-laki dan perempuan, atau yang berjasa agar seirama dengan pola kehidupan adat Batak yang terkandung dalam ‘Dalihan Na Tolu’.
Maka, jika Presiden SBY dinobatkan sebagai ‘Raja Batak’ tentulah dia penguasa terhadap semua marga. Ini adalah pelechan yang merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh kalangan atau kelompok yang memberikan gelar raja tsb. Soalnya, tidak semua marga memberikan gelar marganya kepada Presiden SBY.
Jika ‘pengagas’ tetap memaksakan kehendaknya, ini merupakan bentuk dari feodalisme dengan kekuasaan tirani, untuk memberikan gelar ‘Raja Batak’ kepada SBY maka marga lain bisa mengajukan class action (tuntutan yang dilakukan oleh marga-marga yang tidakmemberikan gelar melalui pengadilan negeri).
Maka, tolonglah, Tuan ‘Penggagas’. berikan saja gelar ‘Raja Marga X’ kepada Presiden SBY jangan sekali-kali memberikan gelar ‘Raja Batak’.
Terlepas dari ada atau tidak jasa SBY sebagai pribadi atau presiden terhadap etnis Batak yang jelas tidak ada satu pun raja yang menguasai semua suku atau marga di Batak. Maka, tidak ada alasan yang bisa membenarkan pemberian gelajar ‘raja’ kepada SBY. Sisingamangaraja pun bukan raja dari semua marga Batak.
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang hidup di kawasan Tapanuli, Prov Sumatera Utara. Batak terdiri atas kelompok etnis besar yaitu (berdasarkan abjad): Angkola, Dairi, Karo, Mandailing, Pakpak, Simalungun, dan Toba. Setiap kelompok etnis ini mempunyai banyak marga yang juga ada di kelompok etnis lain dengan marga yang sama atau berbeda.
Pemberian gelar akan merusak Tondi (jiwa atau roh) suku Batak karena ‘dipimpin’ oleh raja yang tidak mengakar di masyarakat Batak. Ketika tondi terusik maka orang Batak akan menghadapi masalah yang berpengaruh pada tatanana kehidupan bermasyarakat.
Soalnya, pemberitan gelar ‘Raja Batak’ untuk SBY tidak ada kaitannya dengan kekerabatan. Padahal, dalam masyarakat Batak kekerabatan erat kaitannya dengan tara pergaulan dalam kehidupan sehari-hari. Kekerahatan yang utama terjadi karena garis keturunan (marga) dan perkawinan.