Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tes Keperawanan Adalah Diskriminasi

29 September 2010   11:14 Diperbarui: 14 Februari 2024   08:22 707
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana yang paling baik adalah merancang upaya yang konkret untuk meningkatkan tanggung jawab remaja putra dalam melindungi mahkota remaja putri. Ini baru jujur dan adil.

Ironi juga muncul dari wacana Ranperda tes keperawanan di DPRD Prov Jambi itu. Kalangan perempuan justru ikut menekan kaumnya. Lihatlah pendapat Zaidawati, Kepala SMPN 14 Kota Jambi, ini. Diberitakan dia setuju atas wacana tes keperawanan pada PSB yang dinilainya cukup bagus. Ironis.

Bahkan, seorang siswi juga mendukung tes keperawanan itu. Ini pendapat Aida (18), siswi kelas XIII di SMAN 1: “Sebenarnya penerapan tes keperawanan ada sisi positifnya. Dengan adanya ketentuan seperti itu, diharapkan anak-anak remaja mampu memproteksi dirinya sendiri saat bergaul dengan lawan jenis, karena mereka masih ingin sekolah. Tapi itu tidak menjamin karena usia remaja adalah usia yang labil.” Mengapa Zaidawati dan Aida tidak melihat ketidakadilan dalam wacana tes keperawanan itu? Apakah mata hati mereka sudah tertutup terhadap keadilan (gender)?

Di banyak negara, seperti di Eropa Barat, Australia dan Amerika Serikat yang tidak ada tes keperawanan gadis-gadis di sana tetap menjaga kehormatannya. Masyarakat Indonesia salah kaprah menilai remaja Barat karena terpengaruh film-film Hollywood yang dibuat untuk kebutuhan pasar. Film-film itu tidak perpijak pada realitas sosial karena perilaku yang ditonjolkan di film bukan gambaran masyarakat Barat sebagai realitas kehidupan, tapi perilaku orang per orang atau kelompok dalam satu komunitas. Pemerintah di sana tidak bisa berbuat banyak karena terkait dengan HAM.

Penulis pernah malu kepada diri sendiri sebagai bangsa Indonesia. Seorang perempuan muda mengenakan rok pendek sampai celana dalamnya kelihatan. Ini terjadi di angkutan umum di Manila, Filipina, pukul 03.00. Ketika ditanya mengapa dia tidak takut mengalami pelecehan seksual karena pakaiannya merangsang, dia pun menjawab: “Kita ‘kan manusia yang beradab dan hidup di negara hukum.” Bayangkan di Indonesia yang selalu berkoar-koar sebagai bangsa yang berbudaya, beragama dan ber-Pancasila tingkat pelecehan seksual dan perkosaan sangat tinggi. Bahkan, ada korban perksoaan yang memakai pakaian yang menutup aurat.

Sedangkan Sulaiman Abdullah, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jambi, mengatakan ” .... moral remaja memang perlu dipelihara.” Tapi, cara menjaganya bukan dengan tes keperawanan yang diskriminatif. Apakah hanya remaja (dalam kiatan ini adalah gadis) yang moralnya bobrok? Bukankah, maaf, anggota legislatif dan eksekutif pun ada yang terlibat korupsi? Wakil Gubernur Jambi masuk bui karena korupsi. Apakah korupsi tidak terkait dengan moral dan maksiat?

Pelaku zina di lokasi pelacuran dan di luar lokasi pelacuran, panti pijat plus-plus, karaoke, dll. justru didominasi oleh orang-orang tua (dewasa): Apakah kita menutup mata terhadap fakta ini? Sekarang kian banyak istri yang tertular HIV dari suaminya. Ini membuktikan perilaku seksual suami-suami yang luput dari cercaan moralitas. *

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun