Istilah "kantong bolong" menggambarkan simbol kedermawanan tanpa batas, yaitu memberikan dengan tulus tanpa menghitung-hitung atau mengharapkan balasan. Seseorang yang menjalankan Ilmu Kantong Bolong selalu siap menolong sesama tanpa mempedulikan waktu, tenaga, atau kondisi pribadinya karena apa pun yang ada dalam dirinya hanyalah titipan Tuhan yang harus mengalir untuk kebaikan bersama.
Ajaran ini juga mengajarkan bahwa tolong-menolong harus dilakukan dengan spontan, tanpa banyak pertimbangan atau kalkulasi pribadi. Frasa "ora nganggo wayah wadhuk mikir" berarti bahwa kebaikan harus dilakukan tanpa perlu menunggu waktu atau kesempatan tertentu. Bantuan diberikan bukan karena perhitungan untung-rugi, tetapi karena panggilan nurani yang sadar bahwa setiap manusia saling membutuhkan.
Dalam Ilmu Kantong Bolong, pengorbanan tidak dianggap sebagai beban, melainkan sebagai bentuk kebahagiaan karena telah berperan dalam kehidupan orang lain. Ajaran ini mengajak manusia untuk tidak merasa kepemilikan atas apa yang ada padanya sebagai hak mutlak, tetapi sebagai anugerah yang harus dibagikan dengan penuh kerelaan.
- Sugih Tanpa Bandha (Kaya Tanpa Harta Benda)
filosofi hidup dalam budaya Jawa yang mengajarkan bahwa kekayaan sejati tidak diukur dari harta benda atau materi, melainkan dari ketenangan batin, rasa syukur, dan kebesaran jiwa. Prinsip ini menjadi pengingat (papeling) bagi setiap individu agar tidak terjebak dalam keserakahan atau ambisi berlebih terhadap duniawi, melainkan lebih berfokus pada nilai-nilai kebahagiaan hakiki yang datang dari dalam diri.
Dengan menerapkan sugih tanpa bandha, seseorang diajarkan untuk merasa cukup dan bersyukur atas apa yang dimiliki, tidak mudah merasa kekurangan, dan selalu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana. Hal ini menciptakan ketenangan jiwa, rasa aman, dan jiwa yang besar, karena tidak ada beban pikiran yang timbul akibat keinginan akan sesuatu yang berlebihan.
Filosofi ini juga mengajak untuk lebih menghargai hubungan sosial, kebajikan, dan makna spiritual daripada sekadar mengejar kekayaan materi. Dalam kehidupan sehari-hari, sugih tanpa bandha berarti mampu menerima kondisi hidup dengan lapang dada, tanpa iri hati atau merasa rendah diri, sehingga hidup menjadi lebih damai dan bermakna.
- Digdaya Tanpa Aji (Sakti tanpa Ajimat)
Dalam hal ini konsep spiritual dalam budaya Jawa yang menekankan bahwa kekuatan sejati tidak berasal dari ajimat, ilmu kanuragan, atau kesaktian fisik, melainkan dari tekad, tawakal, dan doa yang tulus kepada Tuhan. Filosofi ini mengajarkan bahwa kekuatan rohani dan keyakinan dalam kuasa Ilahi lebih ampuh daripada sekadar mengandalkan benda-benda atau ajian tertentu.
Ungkapan ini dikenal melalui ajaran R.M.P Sosrokartono, yang berkata, "Tanpa aji, tanpa ilmu, kula boten gadhah ajrih, sebab payung kula Gusti kula, tameng kula inggih Gusti kula". Kalimat tersebut mengandung makna mendalam bahwa meskipun seseorang tidak memiliki ajian atau ilmu kesaktian, ia tidak akan merasa takut, karena perlindungannya sepenuhnya bergantung kepada Tuhan.
Dengan mengamalkan digdaya tanpa aji, seseorang dilatih untuk memiliki jiwa yang kuat dan percaya diri, bukan karena senjata atau ilmu luar, tetapi karena keyakinan batinnya yang kokoh dan ketulusan dalam mengandalkan Tuhan sebagai pelindung utama. Filosofi ini menekankan pentingnya keberanian yang lahir dari hati yang berserah, ikhlas, dan yakin bahwa kekuatan sejati ada dalam kekuasaan Tuhan, bukan pada benda duniawi.
- Nglurug Tanpa Bala (Menyerang Tanpa Balatentara)
Dalam konsep ini, falsafah hidup yang mengajarkan keberanian dan keteguhan dalam menghadapi tantangan tanpa bergantung pada bantuan atau dukungan besar dari orang lain. Ungkapan ini memiliki makna mendalam, yakni seseorang harus berani "menyerang" atau mengatasi masalah dan rintangan dengan kekuatan, kemampuan, serta usaha pribadi. Dalam konteks kehidupan, falsafah ini menekankan pentingnya kemandirian dan keteguhan hati dalam berkarya atau berjuang, tanpa mengandalkan kekuatan eksternal seperti pasukan besar atau sokongan massa. Filosofi ini mengajak setiap individu untuk mengembangkan disiplin, ketekunan, dan kekuatan batin agar mampu menghadapi persoalan dengan berani dan percaya diri.
- Menang Tanpa Ngasorake (Menang Tanpa Merendahkan)
Dalam hal ini filosofi luhur dalam budaya Jawa yang mengajarkan tentang kemenangan yang bermartabat, di mana keberhasilan tidak dicapai dengan merendahkan, mempermalukan, atau menyakiti orang lain. Prinsip ini mengajarkan bahwa kemenangan sejati tidak hanya dilihat dari hasil akhir, tetapi juga dari cara mencapainya yakni dengan menjaga sikap rendah hati, menghormati lawan, dan tidak menumbuhkan kebencian.