Salah satu yang membuat semua orang kagum dengan R.M.P Sosrokartono adalah beliau mampu dengan intelektual menguasai sebanyak 26 bahasa asing, hal ini yang membuat beliau mudah diterima oleh kalangan elite di Belanda, Belgia, Autria, dan Prancis. Berikut beberapa bahasa yang dikuasai beliau, seperti bahasa Inggris, Belanda, India, Cina, Jepang, Arab, Sansekerta, Rusia, Yunani, Latin, Basken, dll. Dengan kemampuan kecakapan berbahasa ini, beliau memberanikan diri menemui Gubernur Jenderal W. Rooseboom pada 14 Agustus 1899 dan meminta untuk benar-benar memperhatikan pendidikan dan pengajaran kaum pribumi di Hindia Belanda.
R.M.P Sosrokartono juga pernah diundang oleh dosen pembimbing di Universitas Leiden untuk menjadi pembicara dalam Kongres Bahasa dan Sastra Belanda ke-25 di Gent, Belgia, pada September 1899. Pada hal ini beliau membahas hak-hak kaum pribumi di Hindia Belanda yang tidak dipenuhi oleh pemerintah jajahan. Maksudnya, pemerintah jajahan harus mengajarkan bahasa Belanda dan bahasa Internasional kepada kaum pribumi, karena hal ini bertujuan untuk mempertahankan kemulian tradisi dan harga diri pribumi.
Pada tahun 1908 R.M.P Sosrokartono juga pernah menjadi pendiri sebuah asosiasi bernama Indische Vereeniging yang dibentuk oleh para mahasiswa Indonesia di Negeri Belanda sebagai titik awal dari kebangkitan nasioanal Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa pergerakan bangsa Indonesia berlangsung parallel dengan perjuangan yang dipelopori para mahasiswa di Eropa. Asosiasi ini sangat berperan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, sejak tahun 1925 ada perganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia.
- Perjuangan di dalam Negeri
Setelah 29 tahun pada 1926, akhirnya R.M.P Sosrokartono memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan mendirikan sekolah dan perpustakaan yang dimana hal ini dicita-citakan mendiang sang adik, R.A Kartini. Namun, kepulangannya ini membuat beliau kecewa, karena ada tuduhan atau fitnah yang menyatakan bahwa R.M.P Sosrokartono termasuk sebagai bagian penganut paham komunis. Beliau kemudian memilih mendirikan perpustakaan "Panti Sastra" di Tegal bersama sang adik, R.A Kardinah.
Pada tahun 1927, Perguruan Taman Siswa mendirikan "National Middelbare School" di Bandung dan R.M.P Sosrokartono terpilih sebagai Direktur pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (M.U.L.O). Para gurunya saat itu seperti, Ir. Soekarno, Dr. Samsi, M.r. Soenarjo, Soewandi, Mr. Oesman Sastromidjojo, dan Iskandar Kertomenggolo. Selain itu, beliau juga menjadi pelopor Pergerakan Nasional Indonesia (PNI).
Pada saat yang bersamaan, beliau menyaksikan orang-orang kelaparan dan diserang berbagai macam penyakit. Hingga akhirnya beliau memutuskan untuk menjalankan laku puasa bertahun-tahun untuk merasakan apa yang diderita oleh saudara-saudaranya. Sekitar tahun 1930 beliau membuka Pondok Darussalam sebagai rumah pengobatan di Bandung dan menetap disana.
Media tempo telah menelusuri jejak sang intelektual dan spritualis ini dari informasi orang-orang yang pernah besinggungan dengan R.M.P Sosrokartono. Selain itu, informasi berbagai bukunya, termasuk surat-surat Kartini dan adik-adiknya, serta dari naskah yang memuat pidato yang pernah beliau sampaikan saat menjadi mahasiswa dan hal ini tersimpan abadi di Leiden.
Salah satu bukti berharga untuk R.M.P Sosrokartono adalah foto hitam putih seukuran kartu pos itu masih beliau simpan rapi. Pada saat itu Kartini Pudjiarto masih berusia delapan tahun. Beliau bersama ibunya R.A Siti Hadiwiti dan kakeknya PAA Sosro Boesono bersama R.M.P Sosrokartono di rumah pengobatan Pondok Darussalam di Jalan Pungkur 7, Bandung, milik Sosrokartono. Foto yang menjadi koleksi tak ternilai Kartini Pudjiarto itu di potret pada tahun 1950, dua tahun menjelang R.M.P Sosrokartono wafat.
Meski mengalami fisik yang separuh lumpuh sejak tahun 1942, R.M.P Sosrokartono masih menerima ratusan tamu yang datang dengan berbagai kepentingan, mulai dari sekedar meminta nasihat, belajar bahasa asing, hingga mengobati berbagai macam penyakit. Biasanya pada setiap ada yang melakukan pengobatan, beliau akan memberikan air putih dan secarik kertas bertulisan huruf alif (singkatan dari Allah) kepada pasiennya.
Adapun secarik kertas yang berisi nasihat "Sugih tanpa banda/Digdaya tanpa aji/Nglurug tanpa bala/Menang tanpa ngasorake" yang artinya (Kaya tanpa harta/Sakti tanpa azimat/Menyerbu tanpa pasukan/Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan). Kertas peninggalan ini ditempel di dinding. Selain itu, tongkat jatah warisan keluarga R.M.P Sosrokartono disimpan dengan baik oleh pihak keluarga. Air putih, huruf alif, nasihat-nasihat hidup yang beliau tulis dalam bahasa Jawa, dan laku puasa berhari-hari adalah bagian dari "wajah mistik" R.M.P Sosrokartono.
Rumah pengobatan Pondok Darussalam milik R.M.P Sosrokartono merupakan rumah panggung yang terbuat dari kayu dengan dinding bamboo. Rumah itu dibangun dengan bentuk memanjang seperti huruf L, sepanjang Jalan Pungkur. Bangunan ini berada tepat di depan terminal angkutan kota Kebun Kelapa. Namun, kini bangunan tersebut sudah tidak berfungsi lagi dan sudah berganti pemilik dengan memakai nomor rumah sejak tahun 1960-an.