Mohon tunggu...
Indriati See
Indriati See Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

WNI bermukim di Jerman

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pesan Sang Surya (Fikber 2)

26 November 2015   20:33 Diperbarui: 26 November 2015   21:41 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indriati See - Peserta no. 8

Sinar Surya menembus jendela kamar tidurku, terasa hangat walau menyilaukan mataku yang lelah dan masih terbaring di kamar Rumah Sakit.

Kuraba lenganku perlahan, bahagia terasa ketika kuketahui bahwa jarum infus sudah mereka angkat. Hm … itu berarti kondisiku membaik dan mereka akan mengizinkanku segera pulang.

Ah … pulang ? Kata 'pulang' selalu membuatku sedih. Aku sudah tidak punya apa-apa lagi. Hidupku saat ini hanya bergantung pada kebaikan Mbok Minah.

Kulihat jam yang menempel di dinding, tepat di depan tempat tidurku. Waktu hampir menunjukkan pukul 12:00 siang. Sebentar lagi, pasti seorang Perawat akan datang membawa makan siangku.

Tiba-tiba kurasakan temperatur di kamarku bertambah hangat, hangat yang membuat hati dan raga terasa bebas dari semua beban yang kupikul selama ini. Semua rasa sakit yang kurasa hilang tak berbekas. Untuk yang pertama kali dalam hidupku, aku merasa sangat bahkan teramat sangat bahagia.

Kutatap Surya melalui jendela kaca, terlihat berputar tujuh kali. Aku terkejut dan berusaha mengucek-ucek mataku dan mencubit lenganku. „Tidak!, aku tidak bermimpi!“.

Pandanganku tak bisa terlepas akan apa yang terjadi pada Sang Surya, lalu kudengar bisikan. Aku sangat yakin bahwa suara itu keluar dari bibir seorang wanita yang berkepribadian sangat lembut.

„Bangunlah Nak!, kenakan sepatu dan pakaian lengkapmu, lalu ikutlah aku !“

Seperti seorang anak yang harus menurut perintah orang tua, aku melakukan semua yang diperintahkan oleh suara tersebut.

„Sekarang, pergilah menuju makam orang-tuamu dan tunggulah aku disana !“.

Perlahan kubuka pintu kamar tidurku. „Selamat Siang Sukma!“.

„Mau kemana ?“ „Makan siang sebentar lagi diantar!“; ucap Perawat yang berpapasan denganku di koridor menuju ruang tunggu.

„Menghirup udara segar sejenak Zus!“. Beliau hanya tersenyum dan mengangguk mendengar jawabanku.

***

Langkah kupercepat melintasi taman Rumah Sakit tersebut. Aku takut bertemu dengan mereka yang mengenaliku. Kuambil jalan belakang, pintas dan perlahan menuju Pemakaman.

Anehnya, dalam perjalanan aku merasa kalau Sang Surya mengikutiku dan dedaunan dari setiap pohon yang kulewati seolah warnanya menjadi keemasan. „Indah sekali!“.

„Apakah ini yang dimaksud dengan suasana surgaNya ?“.

„Apakah aku akan bertemu ayah dan ibu disana?“.

Rasa keherananku belum terjawab ketika tiba-tiba aku merasa sudah berada di area pemakaman.

Terlihat di kejauhan, tiga orang sedang berbincang-bincang. Mereka terdiri dari seorang pria dan dua orang wanita.

Semakin dekat, semakin kukenal wajah pria yang tak asing lagi bagiku. Tetapi, siapakah kedua wanita tersebut ? Ibuku kah ? Jika ya lalu siapa wanita yang satunya lagi ?.

Ayah tersenyum melihatku. „Jangan sentuh kami nak!“ terdengar bisikan ayah walau kulihat bibirnya tak terlihat berucap. Kurasa, kami berkomunikasi hanya melalui mata dan anehnya aku bisa menangkap dan mengerti semua perkataannya.

„Tolonglah ayah dan ibumu!, masih ada satu pintu yang belum terbuka bagi kami“.

„Bebaskan Mbok Minah dari perasaan dendam kesumatnya dengan cintamu kepada kami!“.

„Datanglah kembali, esok hari tepat jam 15:00 dan jam 18:00 disaat suara azan menggema dan lonceng-lonceng kuil serta gereja berdentang!“.

***

„Detak jantungnya normal, begitu juga dengan tensinya“.

„Suhu tubuhnya kembali normal“.

„Lihat Mbok Minah! wajah Sukma terlihat berseri, seolah-olah dia tidak merasakan sakit sama sekali“ ; kata dr. Saldi dengan suara perlahan agar tidak membangunkan Sukma yang terlihat masih terlelap tidur.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 15:30.

„Makan siangnya belum disentuh sama sekali, Dok“.

„Sudah tiga jam dia tertidur dengan lelapnya“; jelas seorang Perawat.

„Tidak apa-apa, terlihat tanda-tanda membaik. Tolong kasih saya laporan kesehatannya dalam dua setengah jam kedepan ya!“; pinta dr. Saldi sambil meninggalkan kamarku.

Semua percakapan mereka terdengar jelas, tetapi aku tak ingin membuka mataku. Aku juga melihat sekejap wajah Mbok Minah yang datang berkunjung dan duduk disebelah tempat tidurku.

Ada kesan rasa kuatir atau ketakutan yang tersembunyi dibalik keriput halus yang mulai terlihat di wajahnya.

Saat ini, aku tak ingin menyapa Mbok Minah. Aku tetap memejamkan mataku sampai kudengar langkah Mbok Minah meninggalkan kamarku.

***

HiR, 26.11.2015

Kumpulan Fiksi Bersambung Lainnya || FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun