Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[LOMBAPK] Restorasi Film Demi Penyelamatan Budaya dan Sejarah

11 September 2016   23:56 Diperbarui: 13 September 2016   11:52 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga Dara Restorasi |Foto: lanangindonesia.com

Nana merasa diperlakukan tidak adil oleh Nenek, dan menuduh Nunung selama ini tidak tulus kepadanya. Nenek menekankan kalau Nana melangkahi Nunung dengan mendahului nikah, maka Nunung akan jadi perawan tua seumur hidupnya.

Suasana Saat Film Berlangsung

Awalnya agak tegang karena adegan diwarnai dengan omelan Nenek (Fifi Young). Lama-lama penonton dibawa masuk ke suasana tahun 50-an. Mulailah dari kursi penonton terdengar suara tawa kecil bersamaan, juga sesekali terbahak bersama. Begitulah suasana penonton yang terhibur dan tergelak mulai terasakan selayaknya kesatuan penonton yang makin kompak dan sehati.

Saya juga seperti kena komando cekakak- cekikik massal. Ada rasa haru saat Nana diputus oleh Mas Toto yang ganteng, yang sebenarnya menyukai Nunung yang tidak suka bergaul dan ke luar rumah. Si Bungsu Neni dengan sikap sok tahu-nya paling sering membuat penonton tergelak. Oh, nggak juga sih. Semua punya kontribusi yang menyentuh saraf ketawa pemirsa. Dari Sukandar, sampai Nenek pengomel. Ini tidak terkecuali Nunung yang menurut nenek suka jutek, ternyata ia lucu juga kalau marah, lucu juga kalau menyembunyikan perasaan cintanya kepada Toto.

Sambil mengikuti jalan cerita dan akting pemain, saya terharu dengan latar belakang tayangan Tiga Dara restorasi. Mulus (tidak ada pendar-pendar sinar bergetar layaknya nonton film-film jadoel, tampilan gambar tajam, bersih, jernih.

Film hitam-putih tetap asyik karena restorasi |SA-Films
Film hitam-putih tetap asyik karena restorasi |SA-Films
Film musikal bernuansa roman ini memanjakan penonton dengan sajian lagu-lagu yang dinamis, dari riang lalu melow, berubah romantis sentuhan jazzy, lalu berganti dengan suasana klasik Melayu, juga ada yang sedikit bernuansa irama padang pasir, ada satu lagu yang pernah diajarkan ke saya saat masih SD – sederhana namun indah dan manis! Semua terdengar jelas dan keren di telinga.

Saya melamunkan Ibunda yang pertama kali menceritakan kehebatan pemain dan keseruan Tiga Dara. Pantas saja Ibunda dulu sering bercerita pada saya, meskipun saat itu tidak ada tayangannya lagi.

Audio yang Seperti Film baru -- Sangat Asyik untuk Dinikmati

Berikut bukti bahwa restorasi audionya membuat saya serasa menikmati film baru! Kesepuluh lagu soundtrack Tiga Dara yang sangat berkesan bagi saya: Tiga Dara (nuansa riang); Cita-cita; Letnan Hardy– jazzy; Tamasya – bernuansa irama padang pasir yang eksotis meski agak kelam; Joget Gembira – irama Melayu; Pilih Menantu – jazzy alat musik tiup mendominasi lagunya; Siapa Namanya – berirama jazz keren bak gubahan David Benoit

Mengapa Restorasi Film Perlu dan Penting?

Tiga Dara Restorasi |Foto: lanangindonesia.com
Tiga Dara Restorasi |Foto: lanangindonesia.com
Film telah mengabadikan sejarah karya sineas Indonesia sejak tahun 1955-an. Hal ini dimulai dengan lahirnya karya-karya Usmar Ismail yang sungguh luar biasa, apalagi mengingat Indonesia baru merdeka pada tahun 1945. Para sineas menangkap peristiwa dan mewujudkannya dalam karya seni,  meskipun hal itu tidak selalu berarti merefleksikan banyak hal penting yang menjadi bagian dari sejarah dan kebudayaan bangsa yang merdeka ini. Semua ini menjadi penghubung antara masa lampau dan diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Maka jelas bahwa memelihara film adalah menyimpan sejarah, sementara restorasi adalah bagian dari pelestarian budaya – yang artinya juga menyelamatkan budaya generasi sebelumnya agar bisa dimanfaatkan oleh generasi penerus. Sayangnya, kearsipan dan segala kebutuhan pendukung lainnya di Indonesia tampak sangat terbatas dan bisa dikatakan ketinggalan zaman. Padahal, film itu penanda zaman, dan bagian dari sejarah. Film Indonesia tak lepas dari peran itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun