Semua detil paragraf aslinya boleh saja dipertahankan, asalkan memang ada sesuatu yang sangat penting tentang menyikat gigi, makanan sarapan, atau penguncian pintu depan, dan seterusnya. Jujur aja ya, menurutku kalimat sesudah disunting lebih menarik, karena banyak bagian cerita yang tidak penting yang sudah dibuang.
Lanjut ya. Apakah kamu lebay dalam mendramatisir emosi karakter atau tokohmu? Mencoba untuk membuat adegan tampak lebih dramatis dengan menambahkan secara rinci tegang sering memiliki efek sebaliknya?
Apakah kamu menggunakan bahasa berlebihan untuk menambahkan penekanan?
Misalnya, " 'Ini adalah hari terburuk dalam hidup saya,' isak gadis celaka."
Kita tahu dari tangisan si gadis, dia sedang mengalami hari terburuk dalam hidupnya. Kita tidak perlu menambahkan kata sifat berlebihan, karena jadinya akan mubazir. Inilah yang disebut gaya bahasa pleonasme. Memang dalam hal tertentu ini perlu, tapi tidak selalu.
Apakah setiap adegan kamu maksudkan untuk satu tujuan? Sebuah adegan yang menceritakan tentang sang tokoh, itu bagus. Namun lebih bagus lagi kalau dalam satu “adegan”, pembaca bisa melihat adanya penceritaan tokoh, sekaligus bagaimana adegan itu bergerak maju ke adegan berikutnya – semacam plot yang dinamis.
Apakah kamu menulis banyak kalimat pasif? Kecuali kamu ingin menekankan pentingnya suatu hal, maka kalimat pasif akan memberi kesan kuat. Namun, sebaiknya gunakan kalimat aktif, dan ini menjadi kalimat yang efektif, lagi-lagi – agar tulisan tidak bertele-tele.
Apakah kamu sedang memanjakan diri sendiri? Setiap penulis harus mencintai tulisan sendiri, tetapi ini bisa bermasalah ketika kamu mengaguminya berlebihan. Apalagi kalau sampai kamu jatuh cinta pada tokoh utama, karena cinta gila-gilaan seperti itu bakal membuat tulisanmu cenderung cengeng. Bedakan antara romantis dan cengeng.
Bagaimana caranya?
Baca saja buku terlaris dan buku yang yah, gimana ya .. selidiki sendiri sana ke toko buku. Baca, baca, baca. Novel A, novel B, novel C, baca resensi orang --- bandingkan dengan pendapat dan pengalaman sendiri saat membaca novel yang sama. Di luar itu, menulis cerita fiksi memang harus merasa sreg dengan tokohnya. Pelajari, dalami, dan kenali sang tokoh. Carilah “chemistry”-nya, dan sukai, terima mereka apa adanya. Nah, gitu … menurutku.
Eits, ini kok teori lagi, teori lagi.