Mohon tunggu...
Indria Salim
Indria Salim Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer

Freelance Writer, Praktisi PR di berbagai organisasi internasional (1990-2011) Twitter: @IndriaSalim IG: @myworkingphotos fb @indriasalim

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Duh, Tulisanku Membosankan!

20 Februari 2016   12:08 Diperbarui: 20 Februari 2016   16:43 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Huh! Tulisanku kok begini-begini saja. Kalau aku saja bosan membaca tulisan sendiri, gimana orang lain membaca tulisanku ya? Hmm, gimana aku bisa membuat tulisan yang cethar membahana, membuka mata pembaca, meninggalkan jejak mendalam di benak, menggores luka lama, dan sebaliknya mengobati kepedihan akut bagi siapa saja yang membaca tulisanku.

[caption caption="Menjaga kegilaan agar tetap waras |Foto: catherinewinther.com"][/caption]Aku pasti sedang berkhayal. Atau kegilaanku kumat (baca: kenthir). Obsesi menulis super bagus membuat suhu kepalaku naik jadi 50 derajat Celsius. 

[caption caption="Planet Kenthir | Twitter Planet Kenthir"]

[/caption]Lho berkhayal dan punya daya khayal ( baca: imajinasi) tinggi dan (bila perlu) liar itu sah dan wajib.

Apakah kini aku sedang berang? Atau mungkin geram? Mungkin lain kali aku sangat ingin mengerkah beling? Dan nanti siang aku bisa jadi sedang mabuk kepayang tanpa sebab? Mana mungkin?

Seorang pakar menulis, sebut saja Si Mentor, pernah mengatakan, dalam menulis, khususnya menulis fiksi, kepalamu harus dipenuhi sejuta pertanyaan, dari mengapa A -- sampai bagaimana kalau Z?

Ternyata menulis itu mudah, bila hanya untuk diri sendiri. Masa sih? Mentor lain mengatakan, menulislah seakan kau sedang berbicara dengan seseorang. Menulislah seakan kau sedang sangat-sangat kesal dan terpuruk sampai ingin ambles bumi.

Nah, dari situ kau fokuskan semua yang mungkin terjadi. Kau berurusan dengan siapa, dalam masalah apa, ingin melakukan apa, dan bagaimana cara menyelesaikan masalahmu. Lalu kau ingin akhir bahagia atau bagaimana? Siapa saja yang membuat kau merasa harus ingin menulis? Bisa jadi itu tokoh nyata dalam hidupmu, bisa juga itu tokoh rekaan yang silih berganti saling berebut untuk kau tulis kisahnya.

Hati-hati. Seram sekali kalau semua tokohmu sama kuat, sama-sama ngototnya untuk ditulis menjadi tokoh utama, dan semua menghantui pikiranmu. Plak plak plak, begitulah bunuh saya sebagian tokohmu, menangkan satu atau dua saja yang paling bisa kau hadapi dan jadikan sebagai kisah yang penuh greget.

Hanya itu?

Jelas tidak. Banyak lagi elemen menulis yang perlu diketahui, dan dicoba untuk menerapkannya dalam proses kreatifmu.

Ah, teori lagi, petuah lagi. Aku ingin ramuan ajaib, yang sekali teguk bisa menjadikanku penulis hebat.

Ya silakan, coba saja. Tanpa ramuan ajaib pun, kau bisa menjadi penulis hebat. Caranya? Ya terus saja menulis hehehe

Lho "Suhu" kok malah cengengesan, sih? Ini aku sudah hampir nggak tahan, ingin menulis tapi begitu selesai membuat satu judul, rasanya mau muntah baca tulisan sendiri. Bosan, bosan, bosan. Tapi aku ingin tetap bisa menulis. Wah apa aku sudah gila? Tolonglah, apa yang harus kulakukan?

Jika kamu merasa tulisanmu membosankan, tanyakan pada diri sendiri beberapa pertanyaan:

Apakah tulisanmu kebanyakan penjabaran atau detil yang tidak perlu? Mungkin sebenarnya detil itu hanya sekadar membuat tulisanmu panjang lebar, namun sebenarnya justru bagian itu yang membosankan. Pangkas saja bagian itu. Lalu baca kembali, apakah lantas tulisanmu jadi terasa nggak nyambung? Atau jangan-jangan malah terasa lebih mantap?

Kalau kau tahu penulis besar Ernest Hemingway, dia seorang wartawan, tapi juga penulis fiksi. Dia punya gaya khas wartawan dalam tulisan kreatifnya, baik cerpen atau novelnya. Yah, semacam gaya to the point, gitu. Tapi tulisannya masih banyak dibicarakan orang. Dan namanya masih sering disebutkan oleh mereka yang belajar dan mengajar teknik menulis.

Ini kusebutkan satu contoh, hanya untuk menggambarkan bahwa memangkas tulisan itu kadang wajib hukumnya. Dan itu dilakukan saat kamu sudah selesai menulis utuh. Ini yang namanya tahap menyunting (editing). Nah si Ernest ini, konon pernah memangkas habis separuh bagian dari sekian ratus halaman naskah novelnya, sebelum naskah itu menjadi novel yang selalu diingat orang.

Intinya, pertahankan bagian tulisan dan detil yang penting, akan mengubah tulisan justru lebih menarik dan mempercepat alur cerita, dan itu yang namanya tulisan memikat – tidak bertele-tele.

"Edo bangkit berdiri, menyisir rambut, dan kemudian menggosok gigi. Dia membuka almari pakaian, memilih T-shirt biru tua untuk dikenakannya saat sarapan. Edo membuat nasi goreng, ceplok telur dan segelas kopi panas untuk sarapan. Edo menaruh sarapannya di kotak bekal, dan kopi panasnya dia tuang di termos kecil. Lalu dia mengambil tas kerjanya dan membuka pintu depan. Ia pergi ke luar dan mengunci pintunya, sebelum akhirnya menyalakan mobil bututnya. Edo melajukan kendaraannya untuk mengejar waktu sampai ke kantor tanpa terlambat. Satu jam kemudian, Edo sampai di gerbang kantor."

Nah, gimana kalau kamu yang membaca paragraf itu?

Malas banget, iya ya, bertele-tele.

Makanya! Pangkas saja, lalu ini hasilnya: "Edo pergi bekerja." Atau, “Edo berangkat kerja.”

Semua detil paragraf aslinya boleh saja dipertahankan, asalkan memang ada sesuatu yang sangat penting tentang menyikat gigi, makanan sarapan, atau penguncian pintu depan, dan seterusnya. Jujur aja ya, menurutku kalimat sesudah disunting lebih menarik, karena banyak bagian cerita yang tidak penting yang sudah dibuang.

Lanjut ya. Apakah kamu lebay dalam mendramatisir emosi karakter atau tokohmu? Mencoba untuk membuat adegan tampak lebih dramatis dengan menambahkan secara rinci tegang sering memiliki efek sebaliknya?

Apakah kamu menggunakan bahasa berlebihan untuk menambahkan penekanan?

Misalnya, " 'Ini adalah hari terburuk dalam hidup saya,' isak gadis celaka."

Kita tahu dari tangisan si gadis, dia sedang mengalami hari terburuk dalam hidupnya. Kita tidak perlu menambahkan kata sifat berlebihan, karena jadinya akan mubazir. Inilah yang disebut gaya bahasa pleonasme. Memang dalam hal tertentu ini perlu, tapi tidak selalu.

Apakah setiap adegan kamu maksudkan untuk satu tujuan? Sebuah adegan yang menceritakan tentang sang tokoh, itu bagus. Namun lebih bagus lagi kalau dalam satu “adegan”, pembaca bisa melihat adanya penceritaan tokoh, sekaligus bagaimana adegan itu bergerak maju ke adegan berikutnya – semacam plot yang dinamis.

Apakah kamu menulis banyak kalimat pasif? Kecuali kamu ingin menekankan pentingnya suatu hal, maka kalimat pasif akan memberi kesan kuat. Namun, sebaiknya gunakan kalimat aktif, dan ini menjadi kalimat yang efektif, lagi-lagi – agar tulisan tidak bertele-tele.

Apakah kamu sedang memanjakan diri sendiri? Setiap penulis harus mencintai tulisan sendiri, tetapi ini bisa bermasalah ketika kamu mengaguminya berlebihan. Apalagi kalau sampai kamu jatuh cinta pada tokoh utama, karena cinta gila-gilaan seperti itu bakal membuat tulisanmu cenderung cengeng. Bedakan antara romantis dan cengeng.

Bagaimana caranya?

Baca saja buku terlaris dan buku yang yah, gimana ya .. selidiki sendiri sana ke toko buku. Baca, baca, baca. Novel A, novel B, novel C, baca resensi orang --- bandingkan dengan pendapat dan pengalaman sendiri saat membaca novel yang sama. Di luar itu, menulis cerita fiksi memang harus merasa sreg dengan tokohnya. Pelajari, dalami, dan kenali sang tokoh. Carilah “chemistry”-nya, dan sukai, terima mereka apa adanya. Nah, gitu … menurutku.

Eits, ini kok teori lagi, teori lagi.

Lha, biar nggak mabuk teori, praktikkan, jangan membayangkan tulisanmu akan disukai banyak orang. Fokuskan tulisanmu agar disukai satu orang saja, dan mampu menyentuh hatinya. Sudah ah, aku mau mandi! |@IndriaSalim

*) Monolog ini  diungkapkan dan diunggah pertama kalinya oleh Penulis dalam keadaan setengah kenthir setengah waras. Maklumi saja. Ini tulisan yang belum melalui tahap penyuntingan. Percayalah. Salam kenthir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun