Hingga segera lepas siksa ini
Yang mendera dan menerali
Sebegitu besarnya kah rasa yang kau miliki untuk ikhwan itu wahai adikku? Sebegitu besarnyakah hasratmu untuk menjadi pendampingnya? Bagaimana jika sekiranya dia bukan pemilik tulang rusuk yang kau bawa? Apakah engkau sudah siap menerima semuanya? Ahhhhh.....tidak....tidak....kenapa aku berfikiran seperti itu? Harusnya aku mendokan semoga memang benar ikhwan itulah pemilik tulang rusuk yang dibawanya. Semoga...........
Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Hari yang dijanjikan akan segera tiba. Hari yang dinanti-nantikan oleh adikku tercinta. Hari di mana sang ikhwan akan datang ke rumah tuk mengkhitbahnya. Arini nampak agak gugup. Yah, maklum saja. Seminggu lagi sebuah sejarah indah akan terukir dalam diary hidupnya. Pangeran yang didamba akan segera tiba. Memintanya ke orang tua tuk di bawa serta ke istana miliknya.
Sore itu sepulang kantor, kudapati pintu depan tidak terkunci. Hmmmm.... Tumben si Arini cepat pulang, biasanya kan pulangnya sehabis magrib bahkan setelah isya. Perlahan kubuka pintu rumah kemudian berjalan menuju kamarku. Rasanya sudah sangat gerah, ingin segera mengguyur tubuh ini dengan air. Tiba-tiba langkahku terhenti saat mendengar isak tangis seseorang. Yah....sepertinya aku kenal suara itu. Segera kuputar langkah ke kamarnya. Semakin dekat dengan pintu kamar, suara isak tangis itu semakin jelas terdengar. Perlahan kubuka pintu dan kudapati dia duduk terisak di atas tempat tidur sambil memeluk boneka panda yang kuhadiahkan untuknya setahun lalu. Segera kuhampiri dan bertanya "Ada apa dik?" sambil duduk di sampingnya. Perlahan kubelai rambutnya dan ahhhhh.....lihatlah, matanya begitu sembab. Kepala boneka panda itu juga sudah kuyup. Aku mulai cemas. Ada apa gerangan??? "Ada apa dik? Kenapa kamu menangis?" tanyaku kembali. Isakannya semakin kencang dan ia pun menghambur ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. Kudekap ia seraya membelai lembut rambutnya. Kubisikkan kata "Tenang sayang, jangan takut, kakak ada di sini" aku tak tahu harus berkata apa apa,. Lama kularut dalam diam, dan tetap mendekapnya. Sejuta Tanya mulai berkecamuk dalam hatiku, ada apa denganmu dik?
Perlahan ia menarik diri dari pelukanku, kemudian menatap lemah padaku. Oh Tuhan....sungguh aku tak kuasa menatapnya. Guratan wajah itu....wajah itu seolah sudah memberi jawab atas semua tanya yang memenuhi ruang hatiku. Ah...tidak.......tidak.....jangan.... jangan ya Allah, aku tak sanggup mendengarnya. Sungguh aku tak sanggup mendengarnya. Pandanganku mulai mengabur, dan sedetik kemudian. "Kakak......." Katanya lirih. "Dia.......dia.......tidak jadi datang ke rumah" Ya Allah....kekhawatiranku selama ini berubah jadi nyata. Air mata yang sedari tadi kubendung akhirnya tumpah di pipi. Aku tak mampu berkata apa-apa. Kumenangis dalam diam. Ketika semua kata sudah tak mampu lagi terurai dalam ucapan, maka ia pun melebur dalam deraian air mata "Dia memilih tuk menikah dengan akhwat lain kak, pantas saja.......pantas saja sebulan terakhir ini ia sangat sulit dihubungi, alasannya sibuk, banyak kerjaan. Tadi siang ia menelponku, dan bilang ‘Aku tak bisa menikahimu. Minggu depan, aku akan segera menikah dengan teman kuliahku. Percuma menikah jika harus terpisah oleh jarak. Ibu butuh menantu yang bisa selalu ada di dekatnya. Jadi mohon jangan hubungi aku lagi.' Kakak......jika memang sudah tahu akhirnya akan seperti ini, kenapa ia tega memberi harapan dan janji-janji manis padaku? Apa salahku kak? Kalau masalah jarak, bukankah itu sudah ada solusinya? Aku bisa meminta tuk pindah tugas ke sana. Apa salahku kak?" dan ia pun kembali menangis dan memelukku. "Kamu tidak salah...sama sekali tidak salah. Bukan dia yang tercatat namanya di Lauhul Mahfuz untukmu. Bukan dia pemilik tulang rusuk yang kau bawa. Ikhlas Arini". "Tapi aku....aku sangat mencintainya kak, kenapa ia tega berbuat seperti ini padaku?" jawabnya masih dalam isak tangis. "Ikhlas dik, bukan dia yang ditakdirkan Allah untukmu. Lapangkan hatimu. Jangan siksa batinmu dengan angan-angan semu seperti ini. Ikhlas dik, lupakan dia". "Tapi kak, aku sangat mencintainya, sungguh teramat sangat mencintainya" katanya sembari melepas pelukannya padaku. "Arini.....yang kau rasakan ini bukan cinta. Ini bukan cinta dik. Ini hanyalah obsesimu untuk memilikinya. Ini bukan cinta". "Apa kata kakak??? Kakak bilang ini bukan cinta?? Apa maksud kakak?? Hei....apa kakak tahu apa artinya cinta??? HAH.....apa yang kakak tahu tentang cinta?Kakak tidak pernah tahu apa itu cinta karena kakak tidak pernah jatuh cinta, belum pernah seorang pun mencintai kakak. Kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah melakoni. Bicara itu memang muda kak, teori itu memang mudah. Apa kakak tahu bagaimana sakitnya hatiku saat ini? Tidak, kakak tidak tahu...kakak tidak mengerti karena kakak belum pernah merasakan sakit seperti ini" Oh Tuhan....adikku yang berhati lembut ini membentakku, "tolong tinggalkan aku sendiri", tatapannya berubah jadi agak sinis padaku. Aku pun beranjak pergi dari kamarnyadengan harapan ia bisa berfikir jernih dalam kesendirian. Ohhhh....Tuhan....kenapa......
Adzan subuh sudah berkumandang di mesjid. Perlahan aku bangkit dari pembaringan dan segera ambil air wudhu. Rasanya sangat lelah. Semalam hanya bisa tidur sejam. Aku sangat khawatir pada adikku Arini. Ia mengunci diri semalaman di kamar. Tidak makan malam pula. Selesai shalat, kulangkahkan kakiku ke kamarnya. Perlahan kuketuk pintunya, "Rin, sudah shalat subuh dik?". Tak ada jawaban. Kuketuk lagi. Tak ada jawaban. Ahh...mungkin ia masih ingin sendiri dulu.
Pagi-pagi seperti biasa, sarapan sudah kusiapkan di atas meja. Kutengok pintu kamarnya, masih tertutup. Aku pun beranjak ke kamar, ingin mengambil tas kantor. Kudengar pintu kamarnya dibuka. Arini keluar dengan menarik travel bag dan menggendong ransel miliknya. "Mau ke mana dik?" tanyaku penasaran. "Arin mau pulang kak. Untuk sementara, Arin mau cuti dulu. Arin sudah menghubungi teman di kantor tuk ngurus surat cuti. Maaf atas kata-kataku kemarin yah kak. Terima kasih atas kebaikan kakak selama ini. Arin lelah, Arin ingin istirahat dulu kak. Dan sepertinya kampung halaman adalah tempat yang paling tepat buat Arin istirahat" katanya sambil tersenyum. Senyum itu...sangat jauh berbeda dengan senyum-senyumnya selama ini. Ahhhh....Arin. "Arin pamit dulu yah kak, jaga diri kakak baik-baik" katanya seraya memelukku. "Ia dik, jaga dirimu baik-baik yah. Salam buat bapak sama ibu di rumah". "Iya kak, Arin pamit dulu. Assalamu'alaikum"."Waalaikum salam warahmatullah, hati-hati dik"
Kini sudah hampir setahun ia pergi. Belakangan baru kutahu ternyata ia mengundurkan diri dari tempat kerjanya. Ahhhh.....adikku, sebegitu dalam kah luka hatimu hingga kau sulit untuk bangkit kembali?
Mencintai Langit
Tolong ajari aku mengendalikan rindu