Mohon tunggu...
Indra Wardhana
Indra Wardhana Mohon Tunggu... Konsultan - Managing Director

Bertanggung jawab terhadap pengembangan usaha bisnis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kajian Psikologis terhadap Sikap dan Perilaku Miftah

10 Desember 2024   01:44 Diperbarui: 10 Desember 2024   03:37 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kajian Psikologis Terhadap Sikap dan Perilaku Miftah: Sebuah Analisis

Indra Wardhana

Miftah, seorang tokoh agama dan penceramah yang dikenal luas di Indonesia, telah menarik perhatian publik dengan berbagai pernyataan dan perilakunya. Meskipun banyak penggemar yang mengagumi gaya bicaranya yang lugas dan berani, tidak sedikit pula yang menilai bahwa ia menunjukkan sikap kesombongan dan penghinaan terhadap orang lain. Artikel ini akan mengkaji fenomena ini dari sudut pandang psikologi, menggunakan berbagai teori untuk memahami perilaku dan sikapnya.

1. Teori Psikoanalisis

Teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dapat digunakan untuk memahami perilaku  Miftah. Menurut Freud, kepribadian seseorang terdiri dari tiga komponen: id, ego, dan superego.

  • Id: Mewakili dorongan dan insting dasar.
  • Ego: Berfungsi untuk menyeimbangkan antara id dan realitas.
  • Superego: Mewakili norma dan nilai moral.

 

1. Id

  • Deskripsi: Id adalah bagian dari kepribadian yang berisi dorongan dan insting dasar, seperti keinginan untuk mendapatkan pengakuan, kekuasaan, dan kepuasan instingtif.
  • Penerapan pada  Miftah:
    • Perilaku kesombongan dan penghinaan yang ditunjukkan Gus Miftah dapat dilihat sebagai manifestasi dari id yang tidak terkontrol. Ia mungkin merasa dorongan untuk menunjukkan superioritas dan mengekspresikan pandangan yang ekstrem sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan emosional dan egoisnya.

2. Ego

  • Deskripsi: Ego berfungsi sebagai mediator antara id dan realitas. Ia berusaha untuk menyeimbangkan keinginan instingtif dengan norma sosial dan moral.
  • Penerapan pada  Miftah:
    • Jika ego  Miftah berfungsi dengan baik, ia seharusnya mampu menilai situasi dan mempertimbangkan dampak dari pernyataannya. Namun, jika ego-nya lemah atau tidak berfungsi dengan baik, ia mungkin lebih sering mengikuti dorongan dari id, yang dapat menyebabkan perilaku yang merugikan.

3. Superego

  • Deskripsi: Superego mewakili norma, moralitas, dan nilai-nilai yang dipelajari dari orang tua dan masyarakat. (artinya sifat ini muncul dari latar belakang situasi di lingkungan keluarga dan miftah)

Sebagai seorang tokoh agama, seharusnya superego  Miftah mengarahkan perilakunya untuk lebih sesuai dengan ajaran agama yang mengedepankan kerendahan hati dan penghormatan terhadap orang lain. Namun, jika superego-nya tidak berfungsi dengan baik, ia mungkin mengabaikan nilai-nilai ini dan lebih terfokus pada ego-nya.

4. Ketidakseimbangan

  • Deskripsi: Ketidakseimbangan antara id, ego, dan superego dapat menyebabkan perilaku yang problematik.
  • Penerapan pada  Miftah:
    • Jika  Miftah lebih mendengarkan dorongan dari id dan mengabaikan superego, ini dapat menjelaskan sikap sombong dan penghinaan yang sering ia tunjukkan. Hal ini bisa menciptakan ketidakpuasan dalam dirinya, yang dapat berujung pada konflik internal.

Dalam konteks  Miftah, perilaku kesombongan dan penghinaan dapat dilihat sebagai dominasi dari id yang tidak terkontrol. Ketika seseorang merasa superior, bisa jadi ia berusaha memenuhi kebutuhan ego-nya dengan merendahkan orang lain. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam kepribadian yang dapat berujung pada perilaku yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

2. Teori Kognitif

Teori kognitif, yang dipelopori oleh Aaron Beck, menekankan pentingnya pola pikir dalam membentuk perilaku. Miftah mungkin memiliki pola pikir yang menganggap dirinya lebih baik daripada orang lain, yang dapat dipicu oleh pengalaman masa lalu atau pengaruh lingkungan.

  • Pola Pikir Negatif: Jika  Miftah menginternalisasi pandangan bahwa ia adalah satu-satunya yang benar, hal ini dapat menyebabkan sikap sombong dan penghinaan.
  • Distorsi Kognitif: Ia mungkin terjebak dalam distorsi kognitif, seperti "semua atau tidak sama sekali," yang membuatnya tidak mampu melihat sudut pandang orang lain.

3. Teori Perilaku

Teori perilaku, yang dikembangkan oleh B.F. Skinner, menekankan bahwa perilaku dipelajari melalui interaksi dengan lingkungan. Jika sering mendapatkan penguatan positif (misalnya, pujian) ketika menunjukkan sikap sombong, maka perilaku tersebut akan terus berlanjut.

  • Penguatan Positif: Ketika ia mendapatkan perhatian atau dukungan dari pengikutnya atas perilaku tersebut, hal ini dapat memperkuat sikapnya.
  • Modeling: Jika ia melihat tokoh lain yang sukses dengan perilaku serupa, ia mungkin merasa terdorong untuk meniru perilaku tersebut.

4. Teori Humanistik

Teori humanistik, yang dipelopori oleh Carl Rogers dan Abraham Maslow, menekankan pentingnya aktualisasi diri dan penerimaan diri. Dalam konteks ini, sikap sombong  Miftah mungkin mencerminkan ketidakpuasan dengan diri sendiri.

  • Kebutuhan Akan Pengakuan: Jika ia merasa tidak diakui atau dihargai, ia mungkin berusaha untuk menunjukkan superioritas untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.
  • Ketidakamanan: Kesombongan sering kali merupakan mekanisme pertahanan terhadap ketidakamanan. Dengan merendahkan orang lain, ia mungkin berusaha untuk merasa lebih baik tentang dirinya sendiri.

5. Dampak Sosial dan Etika

Sikap dan perilaku Miftah tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada masyarakat.

  • Normalisasi Kesombongan: Ketika tokoh publik menunjukkan sikap sombong, hal ini dapat mempengaruhi pengikutnya untuk meniru perilaku tersebut, yang pada gilirannya dapat merusak norma sosial.
  • Penghinaan Terhadap Orang Lain: Perilaku penghinaan dapat menciptakan budaya intoleransi dan konflik, yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama yang seharusnya mengedepankan kasih sayang dan saling menghormati.

6. Kritik Pedas

Sebagai seorang tokoh agama, Miftah seharusnya menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Namun, sikap kesombongan dan penghinaan yang ditunjukkannya justru menciptakan citra negatif. Dalam konteks ini, penting untuk mengkritik perilakunya:

  • Inkonsekuensi: Ada ketidaksesuaian antara ajaran agama yang mengedepankan kerendahan hati dan perilakunya yang menunjukkan kesombongan.
  • Tanggung Jawab Publik: Sebagai figur publik, ia memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan nilai-nilai positif, bukan justru memperkuat sikap negatif.

Perilaku Miftah yang menunjukkan kesombongan dan penghinaan dapat dianalisis melalui berbagai teori psikologi. Dari psikoanalisis hingga teori humanistik, kita dapat melihat bahwa sikap tersebut tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan pribadi, tetapi juga memiliki dampak sosial yang luas. Sebagai seorang tokoh agama, penting bagi Gus Miftah untuk merefleksikan sikap dan perilakunya, demi kebaikan dirinya dan masyarakat luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun