Mohon tunggu...
indra Tranggono
indra Tranggono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Konsistensi dan Spirit Pembebasan "The Jongos"

22 Oktober 2024   08:02 Diperbarui: 24 Oktober 2024   08:48 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan repertoar teater "The Jongos" terus berlanjut. Tanggal 19 Oktober 2024 lalu, "The Jongos" tampil di forum Maiyah Padhang mBulan, Jombang, Jawa Timur. 

Sekitar seribu orang mengapresiasi penampilan "The Jongos", garapan Dapoer Seni Djogja. Mereka terhibur dan mendapatkan pelbagai renungan seputar kemanusiaan, hukum dan demokrasi. Konten dikemas dalam gaya parodi dan satire.

Salah satu tokoh Maiyah Padhang mBulan Adil Amrullah atau Adil Sadewa mengapresiasi istiqomah (konsistensi dan keteguhan dalam tindakan) para awak Dapoer Seni Djogja (Indra Tranggono/penulis naskah, Isti Nugroho/sutradara, Joko Kamto, Eko Winardi, Novi Budianto (aktor), Toto Rahardjo dan Azied Dewa /penata musik, Wardono/penata cahaya dan Vincensius Himawan /penata artistik). 

Rata-rata mereka sudah berkecimpung dalam dunia seni sekitar 30-40 tahun. Tanpa putus. Bahkan saat mereka memasuki lansia, kreativitas mereka tetap mengalir, memberikan makna kultural bagi masyarakat.

Toto Rahardjo, aktivis LSM dan pendidikan yang juga banyak terlibat di dalam aktivitas bersama budayawan Emha Ainun Nadjib, mengatakan keberadaan Dapoer Seni Djogja tidak bisa dilepaskan dari Emha. 

Pasalnya, sebagian besar personil Dapoer Seni Djogja pernah berinteraksi intensif dengan Emha. Mereka punya kampus bernama "Universitas Patangpuluhan" (Unpat) Yogyakarta, rumah kontrakan Emha.

Di rumah dekat Pasar Legi itu, pada era 1980-an, setiap hari mereka "ngangsu kawruh" pada Emha, tentang berbagai soal, dari sastra, teater, politik, budaya, agama, filsafat, humaniora dan lainnya. Juga terjadi "penggemblengan" sikap yang terkait dengan pembentukan kepribadian.

"Berteater atau berkesenian itu nomor satu adalah menjadi manusia. Perkara menjadi aktor atau seniman, itu hanyalah efek. Di sini, integritas dan komitmen jadi sangat penting, " ujar Emha Ainun Nadjib, suatu ketika.

Karena kemanusiaan yang diolah, kata Emha, maka terbukalah ruang-ruang kepribadian yang memberikan kemungkinan untuk membangun karakter. 

Memperkuat karakter berarti mengasah intelektualitas, jiwa, intuisi, imajinasi dan seluruh piranti (software) halus manusia. Dari sini terbangun integritas, komitmen dan dedikasi.

Dengan kekuatan karakter, manusia menentukan orientasi hidupnya, baik yang terkait dengan nilai-nilai ideal maupun yang berhubungan dengan profesi.

Selain itu, Emha tidak secara langsung mengajarkan etos kerja atau etos kreatif. Tesis Emha, pada dasarkan setiap saat manusia menimbun hutang-hutang kebudayaan. 

Karena itu, manusia dituntut untuk bekerja keras melahirkan ide dan karya guna melunasi hutang-hutang tersebut. Untuk itu, setiap manusia harus mampu menjadi produsen kebudayaan, bukan konsumen kebudayaan.

"Kerja jangan dianggap sebagai beban tapi dipahami sebagai kegiatan yang membahagiakan dan membebaskan. Dengan cara itu, manusia terdorong menjadi kreatif dan produktif,"tutur Emha, suatu ketika.

Emha tak hanya bicara tapi juga memberikan contoh. Ia selalu gigih memperjuangkan ide-ide kreatifnya menjadi pelbagai tulisan: puisi, esai, kolom, naskah drama dan lainnya. Sudah ribuan karya ia hasilkan, dan sebagian besar telah terbit menjadi buku.

Anak-anak muda yang waktu itu "ngangsu kawruh" (menimba ilmu) pada Emha, berupaya menemukan jalan hidup: ada yang jadi jurnalis, penulis, aktor, musisi, politisi, dan ada pula yang menjadi aktivis LSM serta aktivis demokrasi. Mereka tumbuh dalam atmosfer Emha, karena itu mereka bisa disebut "gugusan kreatif Emha". Tentu termasuk mereka yang berhimpun dalam Dapoer Seni Djogja.

Legacy atau warisan Emha bukan hanya karya pemikiran dan karya estetik, tapi juga kerja-kerja kebudayaan yang telah melahirkan banyak orang kreatif di bidangnya masing-masing. 

Kerja kebudayaan mampu menciptakan iklim dan tradisi kreatif yang berperan sangat penting di dalam menjaga ekologi kreatif. Ini lah salah satu wajah ketokohan Emha yang sangat penting untuk dipahami.

Teater Pembebasan

Di dalam diskusi setelah pementasan, Helmi Mustofa merefleksi atas pentas "The Jongos". Penulis, staf Progress Sekretariat Cak Nun dan KiaiKanjeng serta redaktur Caknun.com itu antara lain mengatakan, thesis "The Jongos" senada dengan ajaran Nabi Muhammad SAW, yakni pembebasan atas budak atau perbudakan.

Pada "The Jongos" spirit pembebasan itu berhubungan dengan mentalitas jongos. Tidak sedikit manusia yang secara sosial memiliki kehormatan, justru terjerembab dalam kubangan jingoisme: mereka menjadi budak penguasa. 

Akhirnya para intelektual dan kelas menengah hanya menjadi tukang stempel bagi tindakan penguasa yang zalim. 

Mereka yang melakukan pelbagai pembenaran untuk perilaku penguasa yang menyimpang. Karena itu, kata Helmi, pesan terpenting dari pementasan "The Jongos" adalah pentingnya setiap manusia memerdekakan atau membebaskan diri dari mental jongos atau mental budak, sehingga tidak mengalami dehumanisasi dan menimbulkan dekadensi.

Degradasi Hakim

Tokoh utama drama "The Jongos" adalah seorang hakim yang mendegradasikan dirinya dengan memilih menjadi hakim yang culas. Ia menjadi alat kekuasaan penguasa untuk memenangkan pertarungan pemilihan tampuk kepemimpinan nasional. 

Putusan sang hakim yang memenangkan pihak peng-order kemenangan, menimbulkan protes masyarakat. Ia bisa menutup telinga, tapi tidak bisa lari dari rasa bersalah. Nuraninya ternyata tak bisa dibungkam. Nurani itulah yang mengaduk-aduk perasaannya. Disiksa tumpang tindih perasaan bersalah, akhirnya hakim itu bunuh diri.

Dikemas dengan bentuk semi realis, "The Jongos" mencoba menawarkan tema yang serius ke dalam pola ungkap yang diupayakan komunikatif. 

Beberapa adegan berlangsung secara serius, tapi beberapa adegan yang lain dihadirkan dengan cair, demi menciptakan suasana akrab dengan penonton.

Penonton tersengat, ketika Novi Budianto dan Eko Winardi (keduanya memerankan tokoh jongos) muncul dengan pantun-pantun "Indonesia raya" yang sarat kritik sosial.

Suasana pun jadi semakin heboh ketika muncul sang maestro sulap Tejo Badut. Ia memakai egrang setinggi satu setengah meter. Ia pun lalu main dua nomor sulap yang diolah sarat kritik sosial, sesuai dengan tema: dekadensi politik.

Selebihnya adegan serius beranyaman dengan adegan cair. Alur cerita pun mengalir, hingga akhir. Ditutup adegan dramatik yang melibatkan jongos Busril dan jongos Kotto. Ketika tuan Hakim mati bunuh diri, Busril bertanya pada Kotto: "Lantas kita ikut siapa?"

Kotto menjawab: "Ya ikut oligarki!"

Ajakan itu ditolak Busril. Dia memilih mengikuti jutaaan orang yang berbaris di cakrawala untuk menemukan kebenaran. Mereka, siap menciptakan perubahan, bila saatnya tiba. Dan di jantung orang-orang yang tertindas itu---kata Busril---ia menemukan suara Tuhan.

Drama ini memberikan pesan penting: penguasa yang dekaden dan oligarki yang rakus bisa dikalahkan, jika rakyat bersatu.***

 

Oleh Indra Tranggono
Esais dan Praktisi Budaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun