Mohon tunggu...
indra Tranggono
indra Tranggono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Transendensi dalam Puisi-Puisi Isti

22 September 2024   09:49 Diperbarui: 22 September 2024   09:55 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Transendensi dalam Puisi-puisi Isti

Oleh: Indra Tranggono

Manusia transendental sering dimaknai sebagai manusia yang tercerahkan baik oleh pengalaman sosial, politik, intelektual, estetik maupun kultural dan spiritual.

Untuk mencapai transendensi, manusia mengawali langkahnya dengan menempuh proses aktualisasi diri. Di sini, dalam proses laku (empirisme) manusia berupaya mengekspresikan seluruh ide, hasrat, keinginan, cita-cita dan segala hal yang bersifat ideal. 

Manusia berinteraksi dengan dunia di sekitarnya: entitas sosial, alam, lingkungan dan berbagai makhluk dalam kehidupan. Tak hanya itu. Manusia juga mengalami perjumpaan dengan sejarah, tradisi, mitos dan fakta-fakta mental lainnya. Selanjutnya, manusia menyerap seluruh pengalaman menjadi pengetahuan yang bermakna dan menjadi pelajaran besar bagi dirinya.

Di dalam proses aktualisasi diri, manusia bisa terluka karena mengalami berbagai benturan baik secara sosial, kultural maupun politik. Kondisi terluka secara fisik maupun psikologis, bisa bertransformasi menjadi pengalaman traumatik yang memberikan dampak signifikan dalam kejiwaan. Untuk itu, manusia pun menempuh berbagai cara untuk melawan trauma melalui proses pemaknaan secara positif dan konstruktif atas diri dan pengalaman. 

Dari sini lahirlah: katarsis atau penyucian jiwa. Ini relate dengan pernyataan bapak tragedi dari Yunani Sophocles: ketika penderitaan ditermia dengan agung, manusia mengalami tragedi. Dalam tragedi manusia menyadari keberadaannya dan nasibnya. Lalu ia bangkit untuk menentukan langkah ke depan: menjadi manusia baru yang tercerahkan.

Dari proses aktualisasi diri yang penuh makna, manusia yang tercerahkan menempuh proses transendensi diri. Menurut Maslow

transendensi mengacu pada tingkat kesadaran manusia yang paling tinggi dan paling inklusif atau holistik, berperilaku dan berhubungan, sebagai tujuan daripada sarana, dengan diri sendiri, dengan orang lain yang penting, dengan manusia pada umumnya, dengan spesies lain, dengan alam, dan dengan kosmos. Transendensi diri membawa individu pada apa yang disebutnya "pengalaman puncak" di mana mereka melampaui masalah pribadi mereka sendiri dan melihat dari perspektif yang lebih tinggi. Pengalaman ini sering kali membawa emosi positif yang kuat seperti kegembiraan, kedamaian, dan rasa kesadaran yang berkembang dengan baik (positivepsychology.com).

Transendensi atau proses yang "mendalam" dan "meninggi" sering dikaitkan dengan frasa "melampaui diri" untuk menemukan puncak pengalaman dan nilai-nilai tertentu. Melalui transendensi pula, manusia hadir atau eksis dengan menggenggam nilai-nilai kekal.

Penyair atau penulis puisi pada galibnya adalah manusia kreatif yang selalu setia dan bertahan di ranah pengalaman sosial,a kultural, spiritual dan politik. Di situ ia berdialog bahkan juga bertarung dengan nilai-nilai dan berbagai fenomena kehidupan. Pertarungan secara kreatif itu berujung pada kondisi "kehilangan" dan "mendapat". "Kehilangan" berkaitan dengan seluruh nilai lama yang mengendap dalam bawah sadar. Adapun "mendapat" berkaitan dengan nilai-nilai lain atau baru yang diraih, diperoleh melalui eksplorasi secara kreatif. Teks puisi, yang lahir kemudian, merupakan jagat kata dan jagat makna yang dijadikan tesis penyair atas realitas kehidupan. Tesis itu disodorkan ke publik, untuk dipahami, diuji, dimaknai dan diapresiasi.

***

Seturut dengan pemahaman di atas, Isti Nugroho, penyair yang lahir di Yogyakarta 30 Juli 1960, berupaya menghadirkan puisi-puisi esai melalui buku bertajuk "Negara dalam Gerimis Puisi". Antologi puisi ini memiliki konten yang menarik. Antara lain, pengalaman Isti Nugroho yang gigih memperjuangkan tegaknya demokrasi, dengan melawan rezim Orde Baru pada era 1980-an, dan berakhir di penjara.

Di Indonesia, puisi yang mengangkat pengalaman manusia yang menjadi korban kekerasan negara (baca: rezim berkuasa) belum banyak ditulis orang. Isti Nugroho, penulis puisi dan aktivis demokrasi itu, mencoba menawarkan puisi-puisi esai yang diciptakan berdasarkan pengalaman pahit ketika ditindas Orde Baru pada era 1980-an. 

Karena bersikap kritis terhadap kekuasaan rezim Soeharto, ia ditangkap, diinterogasi, disiksa, diadili dan dihukum selama delapan tahun penjara potong masa tahanan. Ini terjadi pada tahun 1988. Usia Isti waktu itu masih sangat muda: 28 tahun. Ia sudah terobsesi menjadi aktivis yang punya cita-cita tinggi: menegakkan demokrasi.

Dalam pengakuannya, Isti mengatakan perlawanannya atas Orde Baru merupakan bagian dari pilihan hidup sebagai orang yang selalu mengritisi keadaan.

"Kenapa sepanjang hidup saya terus berposisi di pinggiran dan terus melawan kekuasaan yang kejam pada rakyat dan memanipulasi nilai-nilai demokrasi demi melakukan dominasi dan hegemoni? Ini berkaitan dengan keyakinan saya bahwa melawan kekuasaan yang bengis adalah salah satu cara manusia untuk bisa bertahan hidup dan mempertahankan nilai-nilai ideal kehidupan. Sejak kecil kita ditanamkan nilai-nilai perlawanan itu oleh para pendiri bangsa: Soekarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka dan lainnya. Yaitu melawan kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. 

Pilihan nilai ini sudah menjadi semacam cetak biru dalam bawah sadar daya. Maka, ketika ada kekuasaan yang karakternya mirip atau sama dengan karakter yang melekat pada kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme, jiwa dan pikiran kritis saya pun bergolak. Begitu pula ketika saya menghadapi Orde Baru. Rezim ini terang-terangkan menempuh jalan kapitalisme dalam praktik kekuasaan. Korbannya bukan hanya semakin banyaknya orang miskin, tapi juga hak azasi manusia. Jadi perlawanan atas otoritarianisme itu, bagi saya, sesuatu yang make sense

, urgen dan relevan," tutur Isti yang kini aktif di Yayasan Budaya Guntur 49 Jakarta dan INDEMO, lembaga pemantau demokrasi Indonesia, pimpinan tokoh Malari (malapetaka lima belas Januari, tahun 1974 yang melawan modal asing, terutama Jepang), Hariman Siregar.

Perlawanan Isti atas kekuasaan yang otoriter dan represif tidak diganduli motivasi keinginan untuk nempil kamukten alias ikut menikmati kekuasaan, seperti yang dilakukan sebagian dari aktivis kompromistik saat ini. Ia konsisten dengan sikap kritis itu: bertahan di luar kekuasaan. Menyatu dengan orang-orang marjinal baik secara sosial, ekonomi, politik maupun intelektual demi menciptakan perubahan kebudayaan ke tingkat yang lebih bermakna dan bermutu secara peradaban.

***

Membaca, memahami dan menghayati buku puisi "Negara dalam Gerimis Puisi" kita merasakan keprihatinan Isti yang tinggi atas berbagai dekadensi kekuasaan. Ia tak hanya menghadirkan ide-ide besar melainkan juga "mendagingkan" pelbagai ide itu menjadi realitas puitik yang menyentuh dan menggugah kesadaran kita atas kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, demokrasi dan seterusnya. Karya-karya yang dihadirkan di dalam buku ini mencoba memperluas medan garapan puisi yang selama ini didominasi puisi imajis, puisi suasana, di mana tema personal berjejal-jejal.

Yang juga layak dicatat: Isti juga berupaya membangkitkan kembali "sastra terlibat" (sastra yang concern dengan persolalan sosial) setelah pasca Rendra, Emha Ainun Nadjib, Yudhistira ANM Massardi, Wiji Thukul dan lainnya.

Memilih bentuk puisi esai, Isti mengekspresikan kegelisahan kreatif yang bertalian dengan problem sosial. Puisi esai, yang digagas, dipelopori dan dikembangkan oleh Denny JA, merupakan entitas estetis yang akomodatif terhadap kemajemukan ide sosial, politik, sejarah, budaya, agama dan lainya. Juga akomodatif terhadap gaya atau bentuk penulisan dan bahasa.

Struktur puisi esai relatif longgar jika dibandingkan dengan puisi konvensional. Bahkan, secara ekstrem, jumlah halaman puisi esai bisa mencapai sekitar 50 halaman. Ini memungkinkan penulis puisi esai lebih optimal di dalam mengekspresikan ide-ide dan kekuatan puitiknya ke dalam lirik yang panjang. Tentu, demi mencapai kualitas karya.

***

Beberapa hal menjadi penanda atas kehadiran puisi esai. Pertama, tema dan topik penulisan lebih beragam. Misalnya soal diskriminasi sosial, sentimen rasial, sejarah dan dinamika sosial, politik, dan kebudayaan sampai isu-isu kemanusiaan.

Kedua, gaya di dalam puisi esai juga membuka ruang bagi eksperimentasi, misalnya menggunakan gaya prosa lirik, cerita pendek, balada dan seterusnya.

Ketiga, di dalam konteks bahasa sebagai media untuk mengungkapkan gagasan, puisi esai juga lebih longgar dibanding puisi konvensional. Penulis bisa menggunakan bahasa sehari-hari sampai bahasa penuh simbol di dalam penulisan.

Hal yang dihindari adalah bahasa yang gelap (abstrak) karena puisi esai lebih mengutamakan komunikasi gagasan daripada bentuk-bentuk estetik yang tertutup. Hal lain yang wajib dihindari adalah bahasa yang klise dan lapuk. Karena puisi esai selalu menantang kebaruan pola ungkap.

Puisi esai tidak berideologi "seni untuk seni", melainkan berpegang pada prinsip "seni untuk publik".

Namun dengan berbagai kelonggaran itu, penulis puisi esai tetap dituntut memiliki kemampuan dalam membangun struktur yang jelas dan kuat. Juga Gaya penulisan yang menarik dan pilihan tema persoalan yang menantang dan relevan serta inspiratif. Serta bahasa yang plastis.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pengolahan bahasa. Bahasa yang digunakan harus efektif dan sugestif serta puitik; mampu membangun dunia imajinasi. Mampu menyentuh rasa dan menggugah kesadaran pembaca. Artinya, dengan pengolahan bahasa yang jitu, puisi esai mampu menciptakan dunia alternatif di dalam benak pembaca. Karena, puisi esai merupakan tafsir kreatif atas realitas, bukan sekadar potret kenyataan.

Selain itu, dalam puisi esai penulis selalu dituntut untuk menggunakan referensi (yang kemudian disebutkan di dalam catatan kaki). Ini menuntut dan menantang penulis untuk melakukan riset, baik riset pustaka, riset sosial maupun riset seni (budaya).

Beberapa pandangan di atas erat kaitannya dengan pemahaman bahwa puisi esai adalah ilmu, bukan sekadar pengulangan tradisi yang sudah ada dan ngoyot (berakar) dan berlumut. Ilmu selalu menuntut minimal tiga hal. Yakni logika atau penalaran, objektivitas empirisme dan kemampuan teknik.

***

Isti Nugroho penulis yang tumbuh di dalam tradisi penulisan puisi konvensional, sejak ia mulai menulis pada tahun 1980-an. Karya-karya penyair seperti Chairil Anwar, Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono,, Emha Ainun Nadjib dan Linus Suryadi AG sudah melekat di benak Isti. Beberapa puisi Isti termuat di antologi puisi "Tugu" (editor Linus Suryadi AG), "Gunungan", dan lainnya, yang semuanya terbit pada tahun 1980-an.

Ketika ia bergelora menjadi aktivis demokrasi, Isti tetap menulis, tapi tidak banyak puisi dipublikasikan melalui koran atau majalah.

Gagasan-gagasan perubahan sosial yang berkecamuk dalam benak Isti sangat berpengaruh pada pilihan ekspresi puisi. Di antara dua arus besar antara "sastra bisu" (sastra yang mengutamakan estetika) dan "sastra terlibat" (sastra yang bersuara kritis terhadap kondisi sosial-politik), Isti memilih "sastra terlibat". Saat terjadi polemik keras antara "sastra bisu" dan "sastra terlibat" pada era 1980-an, banyak penyair dan pengamat sastra terlibat. Di kubu "sastra bisu" ada Abdul Hadi WM, Sutardji Calzoum Bachri dan lainnya. Adapun di kubu "sastra terlibat" ada Emha Ainun Nadjib, Halim HD, Ariel Heryanto, Arif Budiman, Yudhistira ANM Massardi, Wiji Thukul dan lainnya. Dari "sastra terlibat" muncul istilah baru "sastra kontekstual".

Kukuh menggenggam ideologi "satra terlibat", Isti menulis puisi-puisi yang mengandung kritisisme atas kondisi sosial politik, tanpa meninggalkan estetika.

Kini Isti bertemu dengan puisi esai, entitas sastra yang baginya relatif baru. Bagi Isti, puisi esai jauh lebih memungkinkan untuk menyampaikan ide-ide sosial daripada puisi konvensional.

Dalam puisi esai tak ada hal yang tabu untuk mengeksplorasi berbagai gagasan sosial-politik, sepanjang ada pertanggungjawaban estetik dan kultural. Ini berbeda dengan tradisi dalam puisi konvensional yang tampak "sengaja mengambil jarak" terhadap persoalan-persoalan politik, kecuali karya-karya Rendra, Emha Ainun Nadjib, Darmanto Jatman, Yudhistira Ardhi Nugraha dan lainnya.

Seorang pendekar puisi imajis,, bahkan pernah mengatakan, "Kenapa harus mengangkat tema sosial dalam puisi? Bukankah melalui esai lebih tepat."

Mungkin bagi pendekar puisi imajis itu, persoalan sosial dianggap "mengotori" kesakralan puisi. Karena "disiplin" yang ketat itu, orang pun menganggap wajar jika puisi yang hanya mengutamakan estetika, terkucil di masyarakat.

Puisi esai hadir membongkar mitos-mitos seputar estetika dan konten puisi yang selama ini mengakar di dalam penulisan sastra. Puisi esai juga melakukan desakralisasi atas puisi konvensional yang memuja estetika murni. Berangkat dari pemahaman itu, Isti menuliskan berbagai kegelisahan kreatifnya atas kondisi sosial-politik, melalui puisi esai.

***

Antologi ini dibagi menjadi tiga bab, yang masing-masing bab disebut "terminal".

Terminal 1 disebut Terminal Pencarian , berisi puisi-puisi esai yang melukiskan proses pencarian jati diri Isti Nugroho pada rentang waktu tahun 1970-an hingga 1980-an.

Dalam pencarian itu, Isti bertemu, berdialog dan berinteraksi dengan beberapa tokoh yang dianggap ikut membentuk kepribadian dan menentukan jalan hidupnya.

Tak hanya bertemu tokoh, Isti pun berdialog dengan pelbagai ide baik yang bersumber pada pengalaman membaca buku-buku, menyaksikan pementasan teater, film, mendengarkan lagu-lagu dan menikmati karya seni lainnya, Juga menangkap, merespons dan menafsir berbagai fenomena sosial-politik-budaya.

Isti boleh dibilang "orang yang terobsesi pada gagasan-gagasan besar" , terkait keilmuan, pengetahuan maupun fenomena-fenomena perubahan zaman. Akhirnya, hal ini turut menuntun Isti memilih jalan marjinal atau "jalan perlawanan" atas keadaan dan dominasi/hegemoni rezim berkuasa.

Pada Terminal 2 atau disebut fase Benturan dengan Realitas, Isti menggambarkan dinamika dirinya terkait perjuangan ide-ide di ranah publik.

Ia membuat kelompok diskusi Palagan bersama Ons Untoro dan kawan-kawan. Ia juga bicara secara kritis persoalan-persoalan sosial dan politik di lingkungan mahasiswa seniman, budayawan dan tokoh-tokoh publik. Di sela-sela diskusi yang gemuruh itu, Isti tetap menulis puisi.

Konsistensi pada pikiran-pikiran kritis --terutama yang berkaitan dengan isu keadilan, kemanusiaan, demokrasi, kerakyatan---akhirnya, mau tidak mau, menimbulkan stigma pada diri Isti. Ia dicap "kiri".

Isti bisa menerima label "kiri" sepanjang "kiri" tidak dialamatkan pada "komunis" (stigma yang sangat berbahaya pada era Orde Baru).

Isti menerima sebutan dirinya "kiri" jika "kiri" diartikan kritis atau lebih condong pada sosialis(me). Waktu itu, Isti memang bergairah mendalami pikiran-pikiran kritis tentang sosialisme dari Soetan Sjahrir (pendiri Partai Sosialis Indonesia/PSI). Juga gagasan Karl Marx.

"Sulit bagi siapa pun yang berpikir kritis, tanpa membaca Marx. Tentu tak harus jadi komunis!"ujar Isti.

Perjalanan Isti pun berlanjut.

Pada masa gelap dan represif, penguasa Orde Baru punya banyak mata. Punya banyak telinga. Dan, Isti masuk di dalam "radar penaklukan" Orde Baru yang sangat militeristik itu.

Pada tahun 1988 di Yogyakarta, Isti akhirnya ditangkap, ditahan, diinterogasi, diadili dan divonis hukuman selama delapan tahun penjara potong masa tahanan.

Rezim Orde Baru menganggap Isti "bersimpati pada ide-ide kiri dan berupaya menyebarkannya di masyarakat. Ini sangat berbahaya. Bisa merongrong ideologi dan kewibawaan negara.".

Bagi Isti, yang waktu itu masih berusia 26 tahun, penangkapan tersebut sangat mengguncang jiwanya. Juga mengguncang keluarga, kerabat dan handai tolan. Penangkapan itu juga menjelma jadi teror kolektif, terutama bagi kalangan anak-anak muda yang kritis. Orde Baru tak main-main. Palu besi bisa diayunkan setiap saat. Para anak muda pun akhirnya "tiarap", tapi tetap menggelar diskusi kritis "di bawah tanah".

Isti menjadi salah satu aktivis prodemokrasi yang merasakan langsung kekerasan negara. Sepatu lars militer benar-benar hadir menginjak-injak tubuh dan jiwa Isti. Juga dignitynya.

Pengalaman ditangkap, diinterogasi dan disiksa sangat berharga bagi Isti. Dan dia mencoba mengabadikannya dalam puisi-puisi. Ini bukan sakadar kesaksian, tapi juga jadi penanda penting atas sejarah praktik kekuasaan Orde Baru yang buram dan brutal di dalam menciptakan kepatuhan kolektif publik.

Pesan yang ingin disampaikan Isti adalah bahwa : kebebasan yang didapat melalui Gerakan Reformasi 1998, tidak gratis. Tapi penuh pengorbanan darah, air mata, bahkan nyawa dan masa depan. Ini penting disampaikan agar kalangan anak muda tidak ahistoris di dalam memaknai kebebasan. Begitu juga orang-orang parpol, terutama para juragannya, yang secara langsung menikmati hasil-hasil reformasi.

Sayangnya, kata Isti, nilai-nilai Reformasi akhirnya meredup, karena Reformasi dibajak oleh politisi dan oligarki. Penguatan masyarakat sipil gagal total. Yang semakin kuat justru elite politik dan elite ekonomi. Mereka mengendarai negara dengan kemudi oligarkis.

Terminal 3, atau Mengendarai Gelombang berisi puisi-puisi esai yang bicara tentang arus besar pemikiran yang berkecamuk di dalam benak Isti. Juga sikap Isi atas berbagai perubahan atau stagnasi pasca Reformasi.

Puisi, akhirnya tak bisa hanya dipahami dan diterima sebatas karya sastra.. Puisi menandai gerak dinamika zaman. Menjadi alamat kebudayaan bagi bangsa untuk menelisik pelbagai perubahan. Juga mengandung renungan-renungan yang mencerahkan. Dan, Isti berupaya untuk mewujudkan semua gagasan ideal itu, melalui puisi-puisi esainya.

Puisi-puisi esai karya Isti berupaya merekam dan menghadirkan dinamika pikiran dan jiwa Isti terkait dengan pelbagai pengalaman hidupnya, baik yang pahit-getir seperti jamu broto wali maupun yang manis dan indah,misalnya berelasi dengan romantisme percintaan.

Dalam puisi-puisi esainya, kita bisa menangkap proses mobilitas vertikal Isti menuju pada kepribadian yang memiliki karakter: keteguhan sikap, integritas dan komitmen. Isti pun melakukan transendensi diri, di mana ia memaknai segala persoalan kehidupan secara kritis dan berjarak, lalu melampauinya melalui proses pemaknaan atas nilai-nilai ideal dan universal. Sehingga muncul berbagai gagasan alternatif berbalut keindahan yang Mencerahkan, menyentuh dan menggugah kesadaran.

*)Indra Tranggono, sastrawan dan aktivis budaya, tinggal di Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun