Isti menerima sebutan dirinya "kiri" jika "kiri" diartikan kritis atau lebih condong pada sosialis(me). Waktu itu, Isti memang bergairah mendalami pikiran-pikiran kritis tentang sosialisme dari Soetan Sjahrir (pendiri Partai Sosialis Indonesia/PSI). Juga gagasan Karl Marx.
"Sulit bagi siapa pun yang berpikir kritis, tanpa membaca Marx. Tentu tak harus jadi komunis!"ujar Isti.
Perjalanan Isti pun berlanjut.
Pada masa gelap dan represif, penguasa Orde Baru punya banyak mata. Punya banyak telinga. Dan, Isti masuk di dalam "radar penaklukan" Orde Baru yang sangat militeristik itu.
Pada tahun 1988 di Yogyakarta, Isti akhirnya ditangkap, ditahan, diinterogasi, diadili dan divonis hukuman selama delapan tahun penjara potong masa tahanan.
Rezim Orde Baru menganggap Isti "bersimpati pada ide-ide kiri dan berupaya menyebarkannya di masyarakat. Ini sangat berbahaya. Bisa merongrong ideologi dan kewibawaan negara.".
Bagi Isti, yang waktu itu masih berusia 26 tahun, penangkapan tersebut sangat mengguncang jiwanya. Juga mengguncang keluarga, kerabat dan handai tolan. Penangkapan itu juga menjelma jadi teror kolektif, terutama bagi kalangan anak-anak muda yang kritis. Orde Baru tak main-main. Palu besi bisa diayunkan setiap saat. Para anak muda pun akhirnya "tiarap", tapi tetap menggelar diskusi kritis "di bawah tanah".
Isti menjadi salah satu aktivis prodemokrasi yang merasakan langsung kekerasan negara. Sepatu lars militer benar-benar hadir menginjak-injak tubuh dan jiwa Isti. Juga dignitynya.
Pengalaman ditangkap, diinterogasi dan disiksa sangat berharga bagi Isti. Dan dia mencoba mengabadikannya dalam puisi-puisi. Ini bukan sakadar kesaksian, tapi juga jadi penanda penting atas sejarah praktik kekuasaan Orde Baru yang buram dan brutal di dalam menciptakan kepatuhan kolektif publik.
Pesan yang ingin disampaikan Isti adalah bahwa : kebebasan yang didapat melalui Gerakan Reformasi 1998, tidak gratis. Tapi penuh pengorbanan darah, air mata, bahkan nyawa dan masa depan. Ini penting disampaikan agar kalangan anak muda tidak ahistoris di dalam memaknai kebebasan. Begitu juga orang-orang parpol, terutama para juragannya, yang secara langsung menikmati hasil-hasil reformasi.
Sayangnya, kata Isti, nilai-nilai Reformasi akhirnya meredup, karena Reformasi dibajak oleh politisi dan oligarki. Penguatan masyarakat sipil gagal total. Yang semakin kuat justru elite politik dan elite ekonomi. Mereka mengendarai negara dengan kemudi oligarkis.