Mohon tunggu...
indra Tranggono
indra Tranggono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

hobi menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Transendensi dalam Puisi-Puisi Isti

22 September 2024   09:49 Diperbarui: 22 September 2024   09:55 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Puisi esai hadir membongkar mitos-mitos seputar estetika dan konten puisi yang selama ini mengakar di dalam penulisan sastra. Puisi esai juga melakukan desakralisasi atas puisi konvensional yang memuja estetika murni. Berangkat dari pemahaman itu, Isti menuliskan berbagai kegelisahan kreatifnya atas kondisi sosial-politik, melalui puisi esai.

***

Antologi ini dibagi menjadi tiga bab, yang masing-masing bab disebut "terminal".

Terminal 1 disebut Terminal Pencarian , berisi puisi-puisi esai yang melukiskan proses pencarian jati diri Isti Nugroho pada rentang waktu tahun 1970-an hingga 1980-an.

Dalam pencarian itu, Isti bertemu, berdialog dan berinteraksi dengan beberapa tokoh yang dianggap ikut membentuk kepribadian dan menentukan jalan hidupnya.

Tak hanya bertemu tokoh, Isti pun berdialog dengan pelbagai ide baik yang bersumber pada pengalaman membaca buku-buku, menyaksikan pementasan teater, film, mendengarkan lagu-lagu dan menikmati karya seni lainnya, Juga menangkap, merespons dan menafsir berbagai fenomena sosial-politik-budaya.

Isti boleh dibilang "orang yang terobsesi pada gagasan-gagasan besar" , terkait keilmuan, pengetahuan maupun fenomena-fenomena perubahan zaman. Akhirnya, hal ini turut menuntun Isti memilih jalan marjinal atau "jalan perlawanan" atas keadaan dan dominasi/hegemoni rezim berkuasa.

Pada Terminal 2 atau disebut fase Benturan dengan Realitas, Isti menggambarkan dinamika dirinya terkait perjuangan ide-ide di ranah publik.

Ia membuat kelompok diskusi Palagan bersama Ons Untoro dan kawan-kawan. Ia juga bicara secara kritis persoalan-persoalan sosial dan politik di lingkungan mahasiswa seniman, budayawan dan tokoh-tokoh publik. Di sela-sela diskusi yang gemuruh itu, Isti tetap menulis puisi.

Konsistensi pada pikiran-pikiran kritis --terutama yang berkaitan dengan isu keadilan, kemanusiaan, demokrasi, kerakyatan---akhirnya, mau tidak mau, menimbulkan stigma pada diri Isti. Ia dicap "kiri".

Isti bisa menerima label "kiri" sepanjang "kiri" tidak dialamatkan pada "komunis" (stigma yang sangat berbahaya pada era Orde Baru).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun