***
Seturut dengan pemahaman di atas, Isti Nugroho, penyair yang lahir di Yogyakarta 30 Juli 1960, berupaya menghadirkan puisi-puisi esai melalui buku bertajuk "Negara dalam Gerimis Puisi". Antologi puisi ini memiliki konten yang menarik. Antara lain, pengalaman Isti Nugroho yang gigih memperjuangkan tegaknya demokrasi, dengan melawan rezim Orde Baru pada era 1980-an, dan berakhir di penjara.
Di Indonesia, puisi yang mengangkat pengalaman manusia yang menjadi korban kekerasan negara (baca: rezim berkuasa) belum banyak ditulis orang. Isti Nugroho, penulis puisi dan aktivis demokrasi itu, mencoba menawarkan puisi-puisi esai yang diciptakan berdasarkan pengalaman pahit ketika ditindas Orde Baru pada era 1980-an.Â
Karena bersikap kritis terhadap kekuasaan rezim Soeharto, ia ditangkap, diinterogasi, disiksa, diadili dan dihukum selama delapan tahun penjara potong masa tahanan. Ini terjadi pada tahun 1988. Usia Isti waktu itu masih sangat muda: 28 tahun. Ia sudah terobsesi menjadi aktivis yang punya cita-cita tinggi: menegakkan demokrasi.
Dalam pengakuannya, Isti mengatakan perlawanannya atas Orde Baru merupakan bagian dari pilihan hidup sebagai orang yang selalu mengritisi keadaan.
"Kenapa sepanjang hidup saya terus berposisi di pinggiran dan terus melawan kekuasaan yang kejam pada rakyat dan memanipulasi nilai-nilai demokrasi demi melakukan dominasi dan hegemoni? Ini berkaitan dengan keyakinan saya bahwa melawan kekuasaan yang bengis adalah salah satu cara manusia untuk bisa bertahan hidup dan mempertahankan nilai-nilai ideal kehidupan. Sejak kecil kita ditanamkan nilai-nilai perlawanan itu oleh para pendiri bangsa: Soekarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka dan lainnya. Yaitu melawan kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme.Â
Pilihan nilai ini sudah menjadi semacam cetak biru dalam bawah sadar daya. Maka, ketika ada kekuasaan yang karakternya mirip atau sama dengan karakter yang melekat pada kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme, jiwa dan pikiran kritis saya pun bergolak. Begitu pula ketika saya menghadapi Orde Baru. Rezim ini terang-terangkan menempuh jalan kapitalisme dalam praktik kekuasaan. Korbannya bukan hanya semakin banyaknya orang miskin, tapi juga hak azasi manusia. Jadi perlawanan atas otoritarianisme itu, bagi saya, sesuatu yang make sense
, urgen dan relevan," tutur Isti yang kini aktif di Yayasan Budaya Guntur 49 Jakarta dan INDEMO, lembaga pemantau demokrasi Indonesia, pimpinan tokoh Malari (malapetaka lima belas Januari, tahun 1974 yang melawan modal asing, terutama Jepang), Hariman Siregar.
Perlawanan Isti atas kekuasaan yang otoriter dan represif tidak diganduli motivasi keinginan untuk nempil kamukten alias ikut menikmati kekuasaan, seperti yang dilakukan sebagian dari aktivis kompromistik saat ini. Ia konsisten dengan sikap kritis itu: bertahan di luar kekuasaan. Menyatu dengan orang-orang marjinal baik secara sosial, ekonomi, politik maupun intelektual demi menciptakan perubahan kebudayaan ke tingkat yang lebih bermakna dan bermutu secara peradaban.
***
Membaca, memahami dan menghayati buku puisi "Negara dalam Gerimis Puisi" kita merasakan keprihatinan Isti yang tinggi atas berbagai dekadensi kekuasaan. Ia tak hanya menghadirkan ide-ide besar melainkan juga "mendagingkan" pelbagai ide itu menjadi realitas puitik yang menyentuh dan menggugah kesadaran kita atas kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, demokrasi dan seterusnya. Karya-karya yang dihadirkan di dalam buku ini mencoba memperluas medan garapan puisi yang selama ini didominasi puisi imajis, puisi suasana, di mana tema personal berjejal-jejal.