Mohon tunggu...
INDRA MULYANA
INDRA MULYANA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hukum Pidana Islam

Saya Indra, memiliki hobi membaca, menulis, dan berolahraga. Saya tertarik untuk mengangkat topik-topik mengenai politik, filsafat, dan hukum.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan Seksual Dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Abdul Qadir Audah

29 September 2023   11:59 Diperbarui: 29 September 2023   12:02 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian Kekerasan Seksual

 

Sepintas, istilah kekerasan seksual dan pelecehan seksual terdengar serupa, padahal cakupan kekerasan seksual  lebih luas dari  pelecehan seksual. Kekerasan seksual berasal dari  bahasa Inggris yang  berarti kekerasan, tidak terduga dan tanpa sebab. Kata seksual berarti segala sesuatu yang ada hubungannya dengan seksualitas. sedangkan istilah sexual hardness berarti segala perbuatan yang tidak dikehendaki penerimanya termasuk ancaman, tekanan, dan paksaan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan yang ditujukan pada seksualitas atau alat kelamin seseorang tanpa persetujuannya, dengan  paksaan atau ancaman, termasuk perdagangan perempuan untuk tujuan seksual dan prostitusi paksa. Dengan demikian, segala bentuk perilaku seksual yang melibatkan pemaksaan dan intimidasi tanpa persetujuan dianggap sebagai kekerasan seksual dan dapat dihukum.

Sedangkan menurut Suyetno dan Hariadi, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang muncul dalam bentuk pemaksaan atau ancaman untuk melakukan hubungan seksual, penyiksaan atau sadisme kemudian meninggalkan korban sendiri setelah melakukan perbuatan seksual tersebut.Dari berbagai definisi kekerasan seksual di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan  unsur pemaksaan, intimidasi, dan penyiksaan dengan makna seksual tanpa persetujuan, dianggap sebagai kekerasan seksual dan dapat dipidana. Faktor yang mendorong terjadinya kekerasan seksual antara lain faktor keluarga, lingkungan, sosial dan pribadi. Menurut Foucalt, kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya variabel-variabel penting seperti kekuasaan, struktur sosial dan tujuan kekuasaan. Jika ketiga variabel ini digabungkan, maka yang dihasilkan adalah kesengajaan yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual. Namun, jika salah satu dari ketiganya  tidak muncul, kekerasan seksual tidak akan terjadi.  

Abdul Qadir 'Audah Dan Teorinya Tentang Hukum

Abdul Qadir Audah lahir 1906 M/1374 H, ia menyandang gelar sebagai hakim, ahli hukum, mujahid dan pendakwah. Beliau menghadirkan terobosan baru sekaligus besar menembus system hukum konvensional dengan hujjah-nya yang sangat tajam dan pemikiran yang begitu cemerlang. Beliau berupaya menjadikan syariat Islam sebagai sandaran hukum konvensional yang berlaku di zaman modern ini. Audah lulus dari Fakultas Hukum Universitas Mesir pada tahun 1930. Ia dianugerahi gelar mahasiswa terbaik di universitas. Ia dikenal sebagai orang yang bisa menghalau pengaruh pergaulan buruk, terutama budaya Barat yang sering dialami oleh kalangan muda dan mahasiswa saat itu. Meskipun setelah lulus ia langsung diangkat menjadi anggota parlemen merangkap hakim, namun waktunya banyak dihabiskan untuk menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan hukum.

Dalam pemerintahan, Audah merupakan hakim yang sangat disegani oleh masyarakat karena dalam memutuskan suatu persoalan, prinsip utamanya adalah Syariat Islam. Dia hanya mau menerapkan hukum jika dia yakin bahwa hukum itu tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Audah juga dikenal sebagai hakim terhadap Farouk dan pemerintahan yang korup, bersama dengan teman-teman yang berpikiran sama dan tokoh militer penting. Dia juga aktif menggulingkan rezim Farouk yang zalim. Selain ikut serta dalam pemerintahan dan revolusi, Audah juga seorang penulis. Dia menulis banyak buku, terutama yang berkaitan dengan hukum dan konstitusi, salah satu karangan beliau yang sangat fenomenal dan sangat popular di dunia Islam ialah sebuah buku tebal mengenai "Ensiklopedia Hukum Pidana Islam" yang merupakan terjemah dari buku "at-Tasyri al-Jina'I al-Islamy; Muqaranan bi al-Qanun al-Wadh'iy" yang telah disalin ke dalam berbagai Bahasa dan dipelajari di perguruan-perguruan tinggi. Buku tersebut telah menciptakan perubahan besar pada pemikiran kaum intelektual terutama di daerah Mesir, karena buku ini telah memperlihatkan keunggulan hukum Syariat atas Undang-undang konvensional dan telah menjadi referensi ulama, ahli fiqih, praktisi hukum dan dosen di berbagai Universitas.

Audah wafat pada 7 Desember 1954, beliau dihukum mati bersam lima orang temannya atas perintah dari Gamal Abdul Nasir yang sangat dendam kepada beliau karena posisinya dan kekuatan pribadinya. Pada hari itu, kebencian dan kemurkaan memenuhi sudut dan celah Negeri Islam karena Gamal Abdul Nasir dinilai telah membunuh pejuang Islam atas dasar kebencian. Kata terakhir yang diucapkannya sebelum di eksekusi adalah "Darahku akan menjadi laknat atas pemimpin-pemimpin revolusi".

Pandangan Abdul Qadir 'Audah Terhadap Kekerasan Seksual

 Hukum pidana Islam tidak mengenal istilah kekerasan seksual, karena semua perbuatan yang melibatkan perbuatan seksual dianggap zina. Perzinahan dinyatakan sebagai perbuatan yang patut dihukum dengan setimpal, karena akibatnya sangat berat dan merupakan perbuatan yang sangat terkutuk. Allah Swt berfirman dalam Qs. Al-Isra ayat 32:

 

"Dan janganlah kamu mendekati zina; Seungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". (QS. Al-Isra : 32) 

 

Ayat di atas merupakan dalil yang biasa digunakan untuk perbuatan  seksual, tafsir Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini bahwa Allah SWT melarang hamba-hamba-Nya berzina, serta mendekati zina dan melakukan hal-hal yang mendorong dan menghasut zina. Perbuatan ini dianggap sebagai dosa  besar dan merupakan perbuatan yang terburuk. Secara bahasa, kata zina berasa dari kosakata bahasa Arab yaitu kata zina-yazni-zinan yang mempunyai arti berbuat zina, pelacuran, dan perbuatan terlarang. Para ulama mendefinisikan zina secara berbeda-beda, menurut Ibnu Rusyd, zina adalah persetubuhan yang terjadi bukan karena perkawinan yang sah, bukan pula karena syubhat atau karena harta.

Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah sendiri zina merupakan persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan. Perbuatan zina dianggap sebagai suatu perbuatan yang sangat terkutuk dan dianggap sebagai jarimah, meski tidak ada yang merasa dirugikan, atau meski keduanya suka sama suka zina dipandang sebagai pelanggaran seksualitas yang sangat tercela, tanpa kenal prioritas dan diharamkan dalam segala keadaan. Menurut pandangan Abdul Qadir Audah perilaku zina dibedakan menjadi dua, yaitu zina ghairu muhsan, dan zina muhsan. Zina ghairu muhsan ialah perilaku zina seorang laki-laki atau perempuan yang belum menikah/berkeluarga, sedanglan zina muhsan ialah perbuatan zina seorang laki-laki atau perempuan yang sudah menikah/berkeluarga. Menurut Audah hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan ialah didera serratus kali dan diasingkan selama setahun, sedangkan pelaku zina muhsan hukumannya adalah rajam. Rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu sampai mati.

 

Tetapi hukuman untuk pelaku kekerasan seksual bukanlah di dera ataupun di rajam, karena kekerasan seksual termasuk dalam jarimah ta'zir sebab dalam hukum Islam tidak diatur secara spesifik mengenai hukuman bagi pelaku kekerasan seksual, akan tetapi kekerasan seksual dikategorikan sebagai tindakan yang mendekati zina. Mengenai pengertian ta'zir, dikutip dari buku karangan Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal yang berjudul kaidah fiqh jinayah, ta'zir merupakan hukuman yang diberikan dengan tujuan untuk mendidik atas perbuatan maksiat, yang hukumnya belum ada atau belum ditetapkan oleh hukum syara'. Definisi ta'zir tersebut mengandung makna bahwa setiap perbuatan maksiat yang hukumannya tidak dapat dikenai hukuman hudud, qishash, atau kaffarah dikualifikasikan sebagai jarimah ta'zir. 

Hukuman ta'zir bagi pelaku kekerasan seksual berupa hukuman jillid (hukuman pokok), jumlah maksimal hukuman jillid dalam jarimah ta'zir memiliki beberapa perbedaan pendapat. Pendapat ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah bahwa jumlah hukuman jillid dalam hukuman ta'zir tidak boleh melebihi 10 kali. Sedangkan menurut ulama Malikiyyah jumlah hukuman jillid boleh melebihi had selama bertujuan untuk mendidik bukan karena dendam atau hal lain yang mempengaruhi hukuman. Korban pelecehan seksual tidak mendapatkan hukuman apapun karena tidak termasuk kedalam jarimah zina, meskipun terjadi perzinahan jika korban dipaksa maka hukumannya akan gugur. Abdul Qadir Audah mengatakan, "Menurut Ulama Zahiriyah, tidak ada hukuman hudud bagi perempuan dan laki-laki yang diperkosa (dipaksa)". Oleh karena itu, hanya pelakunya saja yang dikenai hukuman, yaitu berupa hukuman ta'zir seperti yang telah dijelaskan di atas.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun