Mohon tunggu...
indra mufarendra
indra mufarendra Mohon Tunggu... Ilustrator - bapak rumah tangga, mantan wartawan, penulis lepas, ilustrator

Hai, salam kenal! Nama saya Indra Mufarendra, saya pernah lumayan lama menjadi wartawan, saat ini bekerja sebagai ilustrator/kartunis lepas di sebuah media.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bom Waktu dari Asia: Ketegangan Nuklir di Semenanjung Korea

15 September 2024   20:54 Diperbarui: 15 September 2024   20:54 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada Senin, 6 Agustus 1945, pukul 08.15 waktu setempat, Enola Gay, sebuah pesawat pengebom B-29 milik United States Army Air Forces (USAAF), menjatuhkan bom nuklir bernama Little Boy di langit Hiroshima, Jepang.

Meski ledakannya terjadi di atas ketinggian 1.800 kaki, efek yang ditimbulkan setara dengan 12,5 kiloton TNT yang menghancurkan apa saja dalam radius 5 mil persegi. Lebih dari 120.000 warga Hiroshima tewas dalam empat hari setelah ledakan.

Tiga hari berselang, tepatnya 9 Agustus 1945, pukul 11.00, pesawat B29 milik USAAF lainnya menjatuhkan Fat Man di atas Kota Nagasaki. Dengan daya ledak setara 22 kiloton TNT, Fat Man menghancurkan apa saja dalam radius 2 mil persegi di Nagasaki. Sedikitnya, 73.000 orang tewas dalam ledakan ini.

Itulah untuk kali pertama dan juga untuk kali terakhir senjata nuklir digunakan dalam perang. Baik Little Boy maupun Fat Man sama-sama dikategorikan sebagai Bom Atom lantaran hanya menggunakan reaksi fisi nuklir.

Pasca peristiwa Hiroshima dan Nagasaki, sejumlah negara termasuk Korea Utara mengembangkan bom nuklir. Berbeda dengan bom atom, bom nuklir menggunakan reaksi fisi dan fusi sehingga efeknya jauh lebih dahsyat.

Ancaman Nyata di Semenanjung Korea

Sebuah pernyataan yang keluar dari mulut pemimpin Korea Utara Kim Jong Un saat peluncuran rudal balistik antarbenua Hwasong-17, pada 18 November 2022 lalu membuat banyak negara meningkatkan kewaspadaannya. Menurut laporan Korean Central News Agency (KCNA) Kim menyebut bahwa Korea Utara berambisi menjadi negara dengan kekuatan nuklir terkuat di dunia.

Tak lama setelah keberhasilan Hwasong-17, Korea Utara kembali mengejutkan dunia dengan Hwasong-18. Tidak hanya satu, Korea Utara melakukan tiga uji sepanjang 2023. Yakni pada 13 April, 23 Juli, dan 18 Desember. Menurut laporan Media Korea Utara, rudal balistik antarbenua itu menjangkau jarak 1001 kilometer dengan ketinggian 6.648 kilometer dengan waktu tempuh 74 menit.

Namun, mengacu berbagai metrik yang ada, Hwasong-18 punya potensi menjangkau jarak 15.000 kilometer. Itu membuat Hwasong-18 mampu mendarat di wilayah Amerika Serikat manapun.

Bayangkan saja bila Hwasong-18 membawa hulu ledak nuklir, apa yang akan terjadi?

Menurut rilis Council on Foreign Relations (CFR), saat ini Korea Utara memiliki cukup sumber daya untuk menyebarkan sekitar 50-70 senjata nuklir!

Derita Bertetangga di Semenanjung Korea

Korea Selatan menjadi negara yang paling terancam akibat show off yang dilakukan Korea Utara. Tingginya intensitas uji coba senjata yang dilakukan Korea Utara meningkatkan ketegangan antar kedua negara. Sebab, meski menjadi tetangga, kedua Korea memiliki sejarah permusuhan yang membentang selama puluhan tahun.

Seperti dilansir history.com, Korea dulunya merupakan satu kesatuan utuh yang dipimpin beberapa generasi dinasti kerajaan. Namun situasinya berubah ketika di tahun 1905 Jepang berhasil menduduki semenanjung Korea. Lima tahun kemudian, Jepang secara resmi menganeksasi kawasan tersebut.

Hingga akhirnya, dua bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki di tahun 1945 membuat peta dunia tak lagi sama.

Selama Perang Dunia II, AS bersekutu dengan Uni Soviet, di samping Prancis, Britania Raya, dan Tiongkok. AS dan Uni Soviet pun bersepakat untuk membagi semenanjung Korea menjadi dua. Bagian utara menjadi milik Uni Soviet, sementara selatan dikuasai AS.

Korea Utara dengan pengaruh Uni Soviet menjadi negara yang berhaluan komunis. Sementara Korea Selatan mengambil posisi "berseberangan", yakni anti komunis. Bahkan, ideologi itu tetap bertahan meski keduanya sama-sama telah menjadi negara berdaulat penuh.

Kenapa Korea Utara Begitu Ambisius?

Melihat serangkaian aksi unjuk kekuatan militer, termasuk uji coba rudal balistik antarbenua, banyak yang beranggapan bahwa apa yang terjadi pada Korea Utara saat merupakan buah dari ambisi seorang Kim Jong Un. Apalagi, oleh negara-negara barat, Kim Jong Un seringkali direpresentasikan sebagai pemimpin diktator yang keji.

Namun, Kim Jong Un selalu punya alasan dibalik setiap keputusan yang dia ambil. Seperti dilansir pbs.org, Kim Jong Un dalam sebuah kesempatan menyebut bahwa pengembangan kekuatan militer dilakukan sebagai upaya untuk menghadapi ancaman pihak asing. Terutama Amerika Serikat.

"Mereka (AS dan sekutunya) ingin mengisolasi dan mencekik Korea Utara yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia," tegas Kim.

Seperti diketahui, Korea Utara bukanlah satu-satunya negara yang mengembangkan hulu ledak nuklir.

Menurut laporan ICANW (The International Campaign to Abolish Nuclear Weapons), tak kurang ada 12.512 hulu ledak nuklir yang saat ini ada di dunia. Ribuan hulu ledak itu tersebar di sembilan negara.

Rusia menjadi negara dengan hulu ledak nuklir terbanyak. Yakni sebanyak 5.889 unit, melampaui AS dengan 5.224 unit. Kekuatan kedua negara jauh di atas tujuh negara lainnya.

Bagaimana Korea Utara? Dalam daftar yang dirilis ICANW, Korea Utara menempati urutan terakhir dengan 30 hulu ledak nuklir.

Perang nuklir ibarat bom waktu. Apalagi dalam beberapa waktu belakangan ini, sejumlah negara dengan kekuatan nuklir telah menyatakan kesiapannya untuk berperang.

"Korea Utara telah melipatgandakan upaya-upaya untuk membuat semua angkatan bersenjata termasuk kekuatan nuklir sepenuhnya siap bertempur," ujar Kim Jong Un seperti dilansir KCNA (The Korean Central News Agency), 11 September lalu.

Sebelumnya, pada Agustus, Presiden AS Joe Biden dilaporkan telah menyetujui strategi untuk persiapan perang nuklir dengan Rusia, Tiongkok, dan Korea Utara.

Banyak pihak percaya bahwa perang nuklir adalah sebuah keniscayaan.

Annie Jacobsen dalam bukunya Nuclear War: A Scenario menjelaskan soal bagaimana perang nuklir itu bisa terjadi. Jacobsen menulis bahwa perang akan diawali oleh Korea Utara yang meluncurkan serangan nuklir tiba-tiba ke Washington DC dan Pembangkit Listrik Diablo Canyon di California bagian tengah. Selanjutnya, aksi saling balas pun terjadi.

Dalam bukunya, Jacobsen menulis bahwa perang nuklir bisa terjadi begitu cepat. Bahwa "12 ribu tahun peradaban manusia" dapat dihancurkan menjadi puing-puing dalam hitungan 72 menit!

Memusnahkan Senjata Pemusnah Massal

Upaya denuklirisasi itu bermula pada pada 17 Oktober 1958. Dalam sebuah forum di PBB, Irlandia mengusulkan resolusi pertama yang melarang "penyebaran senjata nuklir lebih lanjut". Resolusi itu ditanggapi positif oleh hampir semua anggota PBB. Namun butuh proses panjang sampai akhirnya muncul kesepakatan yang kita kenal sebagai The Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) atau Perjanjian Nonproliferasi Nuklir.

NPT pada mulanya ditandatangani oleh Uni Soviet, Britania Raya, dan Amerika Serikat pada tahun 1968. Tiongkok dan Perancis, dua negara yang juga memiliki kekuatan nuklir pada mulanya enggan menandatangani perjanjian itu. Butuh waktu hingga 1992 sebelum akhirnya kedua negara sepakat dengan NPT.

Korea Utara termasuk dalam daftar negara yang ikut menandatangani NPT di tahun 1980-an. Namun pada 2003, Korea Utara menarik diri dari NPT.

Korea Utara berdalih bahwa pengembangan senjata nuklir dilakukan demi menjaga kepentingan nasionalnya. Terutama untuk menghadapi ancaman dari pihak lain.

Situasi ini tentu saja tidak boleh dibiarkan. Sebab, setiap uji coba nuklir yang dilakukan Pyongyang bisa memicu reaksi keras "negara nuklir lainnya". Lalu, apa yang harus dilakukan?

Di antaranya lewat jalur diplomasi kreatif yang terbagi dua cara: pendekatan tahap demi tahap, dan keterlibatan negara ketiga sebagai mediator.

Pendekatan tahap demi tahap, sesuai namanya tidak memaksakan kehendak banyak pihak kepada Korea Utara. Oke, semua negara menginginkan Korea Utara segera melakukan denuklirisasi. Tapi caranya harus bertahap dulu. Bukan denuklirisasi secara penuh, namun bisa diawali dengan pembekuan program nuklir.

Lalu, untuk mediator, Indonesia bisa menjadi pilihan paling tepat. Sebab, Indonesia adalah negara "netral", tidak memihak blok manapun. Indonesia juga memiliki hubungan harmonis dengan Pyongyang. Tapi di sisi lain, Indonesia juga berhubungan baik dengan Korea Selatan dan Amerika Selatan.

Inti dari diplomasi itu adalah, bila denuklirisasi itu masih terlalu sulit untuk dilakukan, setidaknya bujuk semua pihak agar mau menahan diri. Jangan sampai negara-negara nuklir seperti Korea Utara gegabah memencet tombol nuklirnya.

Akibatnya seperti yang ditulis Jacobsen bisa menjadi kenyataan: peradaban manusia berakhir dalam 72 jam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun