NPT pada mulanya ditandatangani oleh Uni Soviet, Britania Raya, dan Amerika Serikat pada tahun 1968. Tiongkok dan Perancis, dua negara yang juga memiliki kekuatan nuklir pada mulanya enggan menandatangani perjanjian itu. Butuh waktu hingga 1992 sebelum akhirnya kedua negara sepakat dengan NPT.
Korea Utara termasuk dalam daftar negara yang ikut menandatangani NPT di tahun 1980-an. Namun pada 2003, Korea Utara menarik diri dari NPT.
Korea Utara berdalih bahwa pengembangan senjata nuklir dilakukan demi menjaga kepentingan nasionalnya. Terutama untuk menghadapi ancaman dari pihak lain.
Situasi ini tentu saja tidak boleh dibiarkan. Sebab, setiap uji coba nuklir yang dilakukan Pyongyang bisa memicu reaksi keras "negara nuklir lainnya". Lalu, apa yang harus dilakukan?
Di antaranya lewat jalur diplomasi kreatif yang terbagi dua cara: pendekatan tahap demi tahap, dan keterlibatan negara ketiga sebagai mediator.
Pendekatan tahap demi tahap, sesuai namanya tidak memaksakan kehendak banyak pihak kepada Korea Utara. Oke, semua negara menginginkan Korea Utara segera melakukan denuklirisasi. Tapi caranya harus bertahap dulu. Bukan denuklirisasi secara penuh, namun bisa diawali dengan pembekuan program nuklir.
Lalu, untuk mediator, Indonesia bisa menjadi pilihan paling tepat. Sebab, Indonesia adalah negara "netral", tidak memihak blok manapun. Indonesia juga memiliki hubungan harmonis dengan Pyongyang. Tapi di sisi lain, Indonesia juga berhubungan baik dengan Korea Selatan dan Amerika Selatan.
Inti dari diplomasi itu adalah, bila denuklirisasi itu masih terlalu sulit untuk dilakukan, setidaknya bujuk semua pihak agar mau menahan diri. Jangan sampai negara-negara nuklir seperti Korea Utara gegabah memencet tombol nuklirnya.
Akibatnya seperti yang ditulis Jacobsen bisa menjadi kenyataan: peradaban manusia berakhir dalam 72 jam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H