Sejak Kamis lalu saya berada di Jakarta untuk urusan pekerjaan. Seingat saya mungkin pandemi lalu terakhir saya ke Jakarta. Begitu banyak perubahan yang dirasa baik dari lingkungan, pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.Â
Saya teringat saat diterima kerja di Jakarta tahun 2016. Ada rasa antusias karena akan menjadi warga baru Jakarta yang notabane-nya kota besar sekaligus ibu kota Indonesia. Meski tinggal selama 1 tahun, saya sudah mulai hafal jalan di sekitar Jakarta Pusat, Utara, dan Barat.Â
Kemarin ketika teman ajak saya berkeliling Jakarta, entah kenapa saya sudah pangling bahkan lupa dengan arah jalan. Saya kembali seperti warga baru dengan penilaian-penilaian personal tentang perkembangan Jakarta saat ini. Penilaian yang mungkin juga sama dirasakan oleh pendatang baru dk Jakarta.Â
# Penilaian 1 = Kemegahan Jakarta
Seperti yang saya info sebelumnya, saya sempat membandingkan kondisi Jakarta saat pertama datang di 2016 dan di masa sekarang. Saya masih takjub dengan perkembangan ibu kota yang terjadi kurun 7 tahun.Â
Di beberapa titik sudah ada fasilitas MRT, kereta bandara, pusat perbelanjaan megah dan sebagainya. Meskipun saya sudah melihat perkembangan Jakarta melalui sosial media dan berita online namun kesan berbeda muncul ketika melihat secara langsung.Â
Contoh dulu saat ke Pasar Senen, kondisi pasar tampak biasa dengan bangunan yang tergolong tua. Kini sudah ada hiasan ornamen indah dan gedung baru. "Renovasi akibat kebakaran beberapa tahun lalu", teman saya memberikan informasi terkait perubahan Pasar Senen.Â
# Penilaian Kedua = Perjuangan Luar Biasa Para Pencari Nafkah
Selama 2 hari ini teman saya mengajak berkeliling Jakarta hingga tengah malam. Luar biasa terlihat begitu banyak pejuang pencari nafkah di Jakarta.Â
Saya melihat banyak penjual kopi keliling atau usaha kecil yang menjajakan dagangan di pinggir jalan dengan kondisi tertidur. Tampak rasa kelelahan dan kantuk karena saat itu jam 12 malam tapi si penjual masih berusaha menjual kopi keliling.Â
Beberapa titik seperti kawasan Sunter dan Kemayoran kerap banyak masyarakat yang masing nongkrong hingga larut malam. Pengamen jalanan pun memanfaatkan momen ini untuk mencari penghasilan. Padahal di Bali, jam 10 malam sudah banyak usaha tutup dan pengamen jalanan sudah susah dicari.Â
# Penilaian Ketiga = Kepadatan Kendaraan yang Bikin Pusing
Kesan pertama datang tahun 2016 dan saat ini sepertinya tetap sama yaitu Jakarta macet di mana-mana. Apalagi di saat bulan puasa ini banyak penjual pasar ramadhan yang membuat konsumen datang dalam jumlah besar. Tidak kaget mendekati jam pulang kerja dan waktu berbuka akan rentan terjebak kemacetan.Â
Kemarin ketika saya diajak reuni sekaligus buka bersama. Teman saya menolak jika acaranya di sekitar Kuningan. Ia sudah membayangkan kekhawatiran terjebak macet di jam mendekati waktu berbuka. Bisa saja suasana hati berubah ketika awalnya antusias bukber di restoran namun kenyataan bukber di kendaraan karena terjebak macet.Â
Selain kemacetan, hal bikin pusing adalah suara klakson dimana-mana. Jujur saya dan teman-teman yang merupakan warga pendatang yang mengadu nasib di Jakarta stres ketika mendengar suara klakson bertubi-tubi.Â
Kejebak macet langsung ada suara klakson, lampu merah baru berubah jadi hijau pun akan terdengar klakson, atau tengah di jalan lancar pun masih ada yang suka membunyikan klakson. Sepertinya ini yang bikin saya dan teman semasa kuliah masih harus terbiasa dengan suara klakson.Â
# Penilaian Keempat = Lalu Lintas yang Bikin Was-Was
Lah kok gitu? Mungkin ada yang bertanya seperti ini. Mohon maaf jika ada yang kurang berkenan namun dari pengalaman personal dan orang sekitar saya yang juga pendatang selalu was-was jika berada di jalan raya di Jakarta.Â
Contoh sederhana, 2 hari lalu saya menggunakan jasa ojol untuk ke suatu tempat. Padahal saya tidak sedang buru-buru tapi justru merasa was-was. Saat berada di lampu merah, banyak kendaraan melewati batas berhenti termasuk ojol yang saya naiki.Â
Tanda lampu belum berubah hijau tapi kendaraan menerobos, banyak yang melawan arah dan banyak pengemudi atau penumpang tidak menggunakan helm.Â
Kemarin pun teman menjemput saya untuk keliling Jakarta. Ternyata hal sama pun ia lakukan. Sempat saya tegur jangan menerobos lampu merah karena berbahaya. Jawaban sederhana, di sini udah biasa.Â
Wuaduh, teringatlah kata adik saya yang udah lama tinggal di Jakarta. Melihat adik saya membawa motor, jantung saya malah degdegan. Tapi yang lebih ngeri, adik saya bilang justru jika berkendaraan terlalu berhati-hati lebih rentan jadi korban kecelakaan.Â
Pengemudi di Jakarta terbiasa membawa kendaraan kencang jadi jika ada yang membawa kendaraan lambat justru bisa membahayakan pengemudi ini. Kembali lagi hal ini hanya dilakukan oknum pengendara yang tidak taat aturan. Tapi melihat terlalu banyak oknum pelanggar, saya jadi geleng-geleng kepala.Â
# Penilaian Kelima = Kota Hidup 24 Jam
Saya akui Jakarta ibarat kota penuh aktivitas selama 24 jam. Meskipun sudah larut malam justru masih banyak aktivitas yang ditemukan.Â
Ada komunitas olahraga yang berlatih di malam hari. Aktivitas anak muda nongkrong di spot keramaian hingga hiburan malam hari seperti cafe dan pub clubbing.Â
Wajar jika Jakarta dianggap kota penuh keramaian. Disaat jam sudah pukul 1 pagi pun masih banyak lalu lintas kendaraan. Berbeda jauh saat di daerah, di mana jam segitu umumnya sudah sepi. Bahkan orang takut keluar di tengah malam karena rentan kejahatan.Â
Di Jakarta, saya merasa aman saja meski keluyuran di tengah malam. Bahkan untuk minimart, SPBU, apotek, dan lainnya masih ada yang buka hingga tengah malam.Â
***
Berkunjung ke Jakarta bagi pendatang seperti saya tentu memberikan kesan berbeda. Ada ketakjuban seperti pembangunan infrastruktur yang lebih maju, megah, dan lengkap dibandingkan di daerah lainnya. Selain itu Jakarta seakan jadi kota yang selalu penuh aktivitas.Â
Disisi lain ada juga masalah lain yang jadi momok tersendiri seperti kemacetan dan pelanggaran lalu lintas yang tinggi. Bisa jadi kita sebagai pendatang perlu adaptasi terhadap hal ini.Â
Ada beragam kesan dan citra yang muncul dari saya personal maupun beberapa teman terdekat yang juga kini tinggal di Jakarta. Apakah sobat juga merasakan hal sama?Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H