Masih ingat dengan sosok Ghozali Everyday? Mahasiswa daei salah satu universitas di Semarang ini mampu menjual koleksi foto pribadi yang dikumpulkan sejak 2017 melalui OpenSea berbentuk Non Fungitable Token (NFT).Â
Mengutip sejarah NFT dari berbagai sumber diinfokan jika NFT awalnya dikenal sebagai Blockchain Ethereum yang mulai diperkenalkan sejak tahun 2014. Namun platform pertama baru diluncurkan pada 30 Juli 2015 yang dianggap sebagai awal mula era baru NFT (Sumber Klik Disini).Â
Di Indonesia, NFT justru mulai dikenal sejak kehadiran sosok Ghozali. Pemberitaan dirinya begitu menghiasi media tanah air sejak Januari 2022 atau setahun lalu. Tidak tanggung-tanggung Ghozali dikabarkan menjadi miliarder dadakan di mana merujuk pada salah satu sumber berita hasil penjualan fotonya bernilai hampir 12 Miliar. Namun uang yang bisa ia raih hanya sekitar 1,5 Miliar.Â
Sudah bisa ditebak, popularitas dan kisah keberhasilan Ghozali begitu cepat menyebar. Dalam waktu singkat NFT mulai populer di tanah air dan masyarakat berlomba-lomba mencoba mengikuti jejak Ghozali.Â
Saya ingat ada kisah di mana netizen justru memposting identitas pribadi mulai KTP, SIM, Kartu ATM, Kartu Kredit dan identitas lainnya melalui OpenSea.Â
Seiring waktu justru popularitas NFT meredup. Setidaknya inilah yang saya rasakan terlihat di mana pemberitaan terkait NFT tidak se-booming tahun lalu. Apa penyebabnya?Â
# Fenomena "Latahisasi"
Sudah rahasia umum jika ada kisah kesuksesan seseorang yang berhasil menjadi sukses atau kaya dengan cara instan akan menarik minat masyarakat. Mereka akan mencari tahu cara keberhasilan orang tersebut.
Kemudian terjadi tren latah di mana orang meniru cara, strategi dan tindakan orang yang dianggap berhasil. Fenomena latah yang kerap terjadi di sekitar kita.
Nyatanya kegiatan ini mirip menjadi bayangan dari seseorang. Kita tahu bahwa bayangan nyaris berada di belakang kita.Â
Keberhasilan Ghozali dalam mengumpulkan NFT karena keuletan dan keunikan di mana ia berhasil mengumpulkan swafoto/selfie dalam jangka waktu 3 tahun dengan ekspresi nyaris sama. Tindakan yang mungkin hanya ia sendiri lakukan.
Ketika sudah banyak orang meniru membuat eksklusifitas berkurang. Alhasil yang dulu dianggap unik menjadi biasa, yang bernilai mahal justru kini tak bernilai. Tetap yang diuntungkan adalah si pelopor. Si pengekor hanya bisa gigi jari.Â
# NFT Sebagai Apresiasi Kreativitas
Keberhasilan Ghozali memang juga mampu dirasakan oleh sosok lainnya. Denina, wanita asal Kanada berhasil menjual karya lukisan dengan sistem NFT. Salah satu karya lukisan fenomenalnya berjudul The Mona Lana, lukisan tentang gadis berkulit hitam.Â
Melalui penjualan hasil karya lukisan, Denina dikabarkan mampu mengumpulkan US$ 300.000 atau setara 4,5 miliar rupiah. Jumlah yang fantastis (Sumber Klik Disini).Â
Kesamaan Ghozali dan Denina adalah mereka memafaatkan kreativitas untuk menarik warga dunia maya untuk membeli dalam NFT. Kreativitas unik yang berpotensi dibeli dalam nilai fantastis.Â
Bandingkan dengan aktivitas belakangan ini. Niat mendapatkan cuan instan membuat orang memasarkan sesuatu secara sembarangan atau istilahnya asal jual. Ini ibarat menebar jalan sebanyak-banyak di laut yang luas. Tanpa perencanaan dan strategi matang, sebanyak apapun jala yang ditebar mungkin tidak akan ada ikan yang masuk ke dalamnya.Â
Inilah kesalahan dasar di masyarakat di mana hanya mengikuti hal-hal yang viral tanpa modal kreativitas dan sisi unik. Perlahan ketika menyadari usahanya nihil maka sudah bisa ditebak mereka akan berhenti dan mundur satu-persatu.Â
3. Tidak Berada di Bawah Naungan atau Pantauan Badan Hukum Negara
Ketika usaha mendapatkan ijin, legalitas dan ada lembaga pemerintah yang menanungi atau mengawasi maka akan dirasa aman. Contoh aktivitas perbankan ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), perdagangan berjangka ada dibawah naungan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi yang selanjutnya (Bappebti), ada OJK terkait aktivitas keuangan.Â
Di sini NFT masih bersifat bias karena tidak ada ijin khusus dari lembaga pemerintah dan tidak ada lembaga pengawasan. Artinya transaksi NFT memiliki resiko tinggi.
Resiko terhadap fluktuatif yang tidak normal, penyalahgunaan, cyber crime hingga penipuan. Orang awam pun akan kebingungan bagaimana mendapatkan NFT, melakukan transaksi dan menukarnya kembali dalam bentuk uang.
Ketidakjelasan ini membuat perkembangan NFT di Indonesia stagnan bahkan mulai meredup. Kebanyakan di antara kita mungkin masih belum familiar dengan sistem NFT atau blockchains.Â
# 4. Ketidakpastian Hak Cipta Karya
Siapa yang berani menjamin bahwa yang dipasarkan dalam Opensea adalah pemilik karya?Â
Di jaman sekarang kemudahan teknologi memungkinkan orang dengan mudah menjadikan karya orang layaknya karya sendiri. Atau bahkan menduplikasi seolah-olah orisinil.Â
Seandainya saya melihat galeri foto atau lukisan kemudian jika ingin memiliki maka saya harus menukarkan NFT yang saya miliki. Saya akan tetap was-was karena ini adalah transaksi dunia maya. Tidak ada yang menjamin barang yang dijual real.Â
Saya sempat membaca berita ada oknum yang menjual data atau foto orang lain di Opensea. Ini sangat merugikan karena keamanan tidak akan dijamin dalam transaksi ini. Perlahan kita hanya sebagai pengagum karya namun enggan memiliki. Alhasil tidak memberikan banyak dampak bagi si penjual.Â
***
Setahun sudah ketika NFT menjadi populer berkat kehadiran Ghozali Everyday. Sisi unik dan kreativitas yang mengantarkan mendapatkan cuan dari foto pribadi.Â
Sayang latahisasi dan ketidakamanan data membuat popularitas NFT di Indonesia seakan hanya sekejab. Masihkan sobat pembaca tertarik menjual kreativitas demi mengejar NFT?Â
Semoga Bermanfaat
--HIM--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H