3. Tidak Berada di Bawah Naungan atau Pantauan Badan Hukum Negara
Ketika usaha mendapatkan ijin, legalitas dan ada lembaga pemerintah yang menanungi atau mengawasi maka akan dirasa aman. Contoh aktivitas perbankan ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), perdagangan berjangka ada dibawah naungan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi yang selanjutnya (Bappebti), ada OJK terkait aktivitas keuangan.Â
Di sini NFT masih bersifat bias karena tidak ada ijin khusus dari lembaga pemerintah dan tidak ada lembaga pengawasan. Artinya transaksi NFT memiliki resiko tinggi.
Resiko terhadap fluktuatif yang tidak normal, penyalahgunaan, cyber crime hingga penipuan. Orang awam pun akan kebingungan bagaimana mendapatkan NFT, melakukan transaksi dan menukarnya kembali dalam bentuk uang.
Ketidakjelasan ini membuat perkembangan NFT di Indonesia stagnan bahkan mulai meredup. Kebanyakan di antara kita mungkin masih belum familiar dengan sistem NFT atau blockchains.Â
# 4. Ketidakpastian Hak Cipta Karya
Siapa yang berani menjamin bahwa yang dipasarkan dalam Opensea adalah pemilik karya?Â
Di jaman sekarang kemudahan teknologi memungkinkan orang dengan mudah menjadikan karya orang layaknya karya sendiri. Atau bahkan menduplikasi seolah-olah orisinil.Â
Seandainya saya melihat galeri foto atau lukisan kemudian jika ingin memiliki maka saya harus menukarkan NFT yang saya miliki. Saya akan tetap was-was karena ini adalah transaksi dunia maya. Tidak ada yang menjamin barang yang dijual real.Â
Saya sempat membaca berita ada oknum yang menjual data atau foto orang lain di Opensea. Ini sangat merugikan karena keamanan tidak akan dijamin dalam transaksi ini. Perlahan kita hanya sebagai pengagum karya namun enggan memiliki. Alhasil tidak memberikan banyak dampak bagi si penjual.Â
***