Kehadiran transportasi online juga menjadi ancaman bagi pengusaha Angkot di Bali. Kondisi ini juga dirasakan di semua daerah yang sudah terjangkau transportasi online.Â
Jika naik Angkot, kita harus menunggu di terminal, halte atau lokasi yang dilalui Angkot. Tidak hanya itu kadang kita harus berjalan kaki dulu ke titik tersebut. Ini semakin memberatkan jika kondisi membawa banyak barang, cuaca panas/hujan.
Memesan transportasi online lebih praktis, hanya tinggal memanfaatkan aplikasi yang tersedia, menentukan titik jemput dan antar. Kita hanya perlu duduk manis karena akan dijemput dan diantarkan ke titik lokasi.Â
Kita tidak perlu berpanas ria menunggu Angkot yang kehadirannya belum pasti. Transportasi online tentu lebih memudahkan dan nyaman bagi kita.
Jumlah pengemudi transportasi online bahkan jauh menggungguli jumlah Angkot di Bali saat ini. Kemajuan teknologi yang sedikit banyak mempengaruhi transportasi konvensional seperti Angkot.Â
4. Biaya Pengeluaran Tidak Sebanding Dengan Pendapatan
Sungguh miris ketika melihat ada Angkot yang melintas namun kondisi sepi atau bahkan kosong penumpang. Padahal biaya operasional tetap berjalan tanpa memandang jumlah penumpang.Â
Sopir tetap harus mengeluarkan biaya bahan bakar, makan dan kopi, rokok sopir hingga perawatan armada. Jika armada dimiliki orang lain maka sopir harus putar otak untuk memberikan setoran atau uang sewa.
Pengeluaran yang lebih besar ini membuat pengelola Angkot memilih mundur secara perlahan. Apalagi kian hari jumlah penumpang sepi. Justru jika dipaksakan tetap beroperasional dengan sepi penumpang, sopir akan merasakan kerugian lebih besar.Â
5. Generasi Muda Enggan Menjadi Sopir Angkot