Dua minggu lalu saya merasa kecewa dan marah pada seorang karyawan yang masih tahap training.Â
Secara personal, saya lebih ke atasan yang santai, terbuka dan berusaha tidak meluapkan emosi berlebihan khususnya pada bawahan. Namun saat itu tampak berbeda.Â
Rasa kecewa dan kesal karena kasir yang saya rekrut bersama HRD dan rekan kerja curhat bahwa suaminya yang kerja di salah satu BUMN dimutasi dari Jakarta ke Surabaya.Â
Dirinya berencana ikut dengan suaminya. Padahal ia baru bekerja selama 2 minggu dan saat sesi interview, dirinya mengatakan siap bekerja kapan pun. Artinya dirinya memang memiliki niat besar untuk bekerja.Â
Ironisnya kekesalan memuncak karena dirinya terkesan menutupi rencana mutasi suami. Padahal untuk sekelas perusahaan BUMN tentu wacana mutasi sudah disampaikan jauh-jauh hari.Â
Ketika staff training ini meminta biar diperkenankan bekerja 1-2 bulan ke depan. Saya memilih mengakhiri kontrak saat itu juga karena ada rasa kecewa mendalam.Â
Saya harus mengeluarkan waktu dan tenaga ekstra untuk merekrut karyawan baru sedangkan waktu serah terima tugas dengan karyawan hanya tertinggal hitungan jari.Â
Jikalau saya mengiyakan permintaan perpanjangan kerja si karyawan training. Artinya perusahaan menggaji karyawan yang tidak akan bekerja untuk jangka panjang.Â
Pada kasus ini saya belajar suatu hal bahwa ada hal yang terlihat sederhana, namun bisa membuat karir karyawan training bisa berakhir begitu saja.Â