Misalkan saya membuka usaha Angkringan di malam hari. Saya akan mencoba memposting usaha ini di sosial media dan mungkin menawarkan kepada teman atau kerabat, "ayo mampir dong ke angkringan saya. Baru opening nih".
Artinya saya mengharapkan ada konsumen yang mau mencoba produk/jasa yang saya sediakan. Harapannya ada pemasukan yang akan didapat meski berasal dari teman atau kerabat yang berkunjung.Â
Bisa jadi usaha yang dirintis berasal dari pinjaman bank atau tabungan pribadi. Kita tahu bahwa merintis suatu usaha pasti membutuhkan modal yang besar seperti perizinan, sewa tempat, beli peralatan penunjang, beli bahan baku, bayar gaji karyawan, dekorasi tempat, dan biaya operasional sehari-hari.Â
Jika saya sebagai pemilik usaha pasti berharap pemasukan yang didapat bisa untuk menutupi pengeluaran tersebut. Nyatanya tidak semua usaha berjalan mulus di awal.Â
Ada banyak usaha ketika melakukan opening ternyata belum berjalan sesuai ekspetasi. Konsumen masih hitungan jari, orderan sedikit dan karyawan lebih banyak santai dibandingkan melayani konsumen. Padahal biaya operasional tetap berjalan.Â
Ketika teman atau kerabat datang sebagai konsumen perdana. Saya pasti akan senang dan berharap ada pemasukan dari mereka. Namun muncul pernyataan, minta harga teman ya bro.Â
Pasti ada rasa menghela nafas sejenak. Ketika diberikan ternyata muncul komentar, Yaelah bro. Masa diskonnya segini? Atau bro gw dah jauh-jauh ke sini masa gak ada bonus sesuatu?Â
Pernyataan ini terkesan sederhana namun bisa jadi menimbulkan rasa sedih bagi si pemilik. Rasa bahagia karena sudah dikunjungi teman atau kerabat berubah jadi kesal.Â
Bisa jadi diskon yang diminta di bawah harga pada umumnya. Yang ada dalam hati si pemilik, ingin dapat untung malah buntung.Â
Saya teringat sebuah postingan dari penyanyi Anji. Dirinya memposting bahwa ada seorang kenalan yang minta dibuatkan lagu namun mengatakan harga yang diberikan terlalu mahal dan minta harga teman.Â